Sirah Para Tabi'in: Generasi Kedua Teladan Umat
"Sebaik-baiknya kalian adalah generasiku (para Sahabat) kemudian orang-orang sesudah mereka (tabiin) kemudian orang-orang setelah mereka (tabi'ut tabi'in)" (Hadis Riwayat Imam Bukhari). Hadis ini menjadi landasan utama dalam hal meneladani generasi awal Islam. Yakni, generasi sahabat (di mana Nabi SAW masih hidup), generasi tabiin (generasi setelahh sahabat) dan tabi'ut tabi'in (generasi setelah tabiin).
Mengapa kita mesti mengacu kepada mereka? Ini karena mereka menyandarkan akidah kepada Al-Quran dan assunah secara otentik. Begitu pula pemikiran mereka belum tercemari dengan pemahaman filsafat asing. Pada tiga generasi inilah perilaku otentik Nabi SAW dan para sahabat terpelihara dengan baik.
Jika dari kelompok para sahabat ada empat khalifah agung (Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib), maka di kelompok para tabiin itu, antara lain, ada Hasan al-Basri, Umar bin Abdul Aziz, dan Abu Hanifah.
Hasan al-Basri besar di lingkungan keluarga Nabi SAW. Ini karena ibu Hasan, Khairah, adalah pembantu Ummu Salamah, seorang istri Nabi SAW yang banyak meriwayatkan hadis. Bahkan, yang memberi nama Hasan adalah Ummu Salamah. Hasan hidup di lingkungan keluarga Nabi SAW sampai usia 14 tahun. Di usia itu, Hasan diboyong oleh ayahnya, Yasir, dan bundanya, Khairah, dari Madinah ke Basrah (Irak).
Kelak, pemuda Hasan yang berpembawaan tenang, zuhud, dan berani menyampaikan kebenaran dihadapan penguasa itu menjadi imam besar di Basrah. Nama belakangannya pun diambil dari Basrah, jadilah Hasan al-Basri, yang berwibawa, berilmu tinggi, dan mengatakan sesuatu sebagaimana yang ia lakukan. Satunya kata dengan perbuatan ada pada diri Hasan.
Adapun Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai pemimpin yang adil nan bijaksana. Di bawah kepemimpinannya jazirah Arab mendapatkan kemakmuran dan kedamaian. Sebagai pemimpin negeri, Umar bin Abdul Aziz tak segan-segan menemui rakyatnya, di mana saja. Bahkan, dia tak pernah menolak tamu hanya karena belum ada janji dengannya. Siapa saja yang datang ke istana maupun ke rumahnya ditemuinya dengan keramahtamaan yang luar biasa. Sosok Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai pemimpin yang selalu takut kepada Allah dan berbuat maksimal untuk rakyatnya.
Sedangkan Abu Hanifah, yang bernama asli Nu'man bin Tsabit bin Al-Marzuban, adalah perintis dalam mengembangkan ilmu fikih. Sebagai ulama, Abu Hanifah tidak mau hidupnya bergantung kepada pihak lain. Untuk itu, dia berniaga dengan menerapkan prinsip-prinsip Islami. Dan ternyata ia sukses secara finansial. Setiap tahun, Abu Hanifah selalu menghitung keuntungannya dalam berniaga. Lalu, dari keuntungannya itu, sebagian kecil ia sisihkan untuk diri dan keluarganya, sebagian besar lainnya diberikan kepada fakir miskin, para janda, anak-anak yatim, musafir yang kehabisan bekal, dan para penuntut imu.
Sosok Abu Hanifah adalah teladan bagi para pendakwah. Ilmunya bak samudra, disampaikan ilmunya tadi dengan hikmah, dipraktekkan dalam kehidupan nyata, dan tidak mau menerima pemberian dari penguasa. Abu Hanifah tampil sebagai ulama mandiri yang berani berkata dan berbicara apa adanya, kepada siapa pun.
Ada 30 generasi tabiin yang didokumentasi dalam buku ini. Sedikitnya ada empat hal yang melekat pada mereka: semangat mencari dan mengembangkan ilmu, mempraktekkan ilmu yang didapat dalam kehidupan keseharian, hidup sederhana, dan berdakwah tanpa adanya rasa takut kepada penguasa. Inilah semangat yang mesti dihidup-hidupkan, bukan mencari penghidupan dari berdakwah!
Herry Mohammad
Mengapa kita mesti mengacu kepada mereka? Ini karena mereka menyandarkan akidah kepada Al-Quran dan assunah secara otentik. Begitu pula pemikiran mereka belum tercemari dengan pemahaman filsafat asing. Pada tiga generasi inilah perilaku otentik Nabi SAW dan para sahabat terpelihara dengan baik.
Jika dari kelompok para sahabat ada empat khalifah agung (Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib), maka di kelompok para tabiin itu, antara lain, ada Hasan al-Basri, Umar bin Abdul Aziz, dan Abu Hanifah.
Hasan al-Basri besar di lingkungan keluarga Nabi SAW. Ini karena ibu Hasan, Khairah, adalah pembantu Ummu Salamah, seorang istri Nabi SAW yang banyak meriwayatkan hadis. Bahkan, yang memberi nama Hasan adalah Ummu Salamah. Hasan hidup di lingkungan keluarga Nabi SAW sampai usia 14 tahun. Di usia itu, Hasan diboyong oleh ayahnya, Yasir, dan bundanya, Khairah, dari Madinah ke Basrah (Irak).
Kelak, pemuda Hasan yang berpembawaan tenang, zuhud, dan berani menyampaikan kebenaran dihadapan penguasa itu menjadi imam besar di Basrah. Nama belakangannya pun diambil dari Basrah, jadilah Hasan al-Basri, yang berwibawa, berilmu tinggi, dan mengatakan sesuatu sebagaimana yang ia lakukan. Satunya kata dengan perbuatan ada pada diri Hasan.
Adapun Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai pemimpin yang adil nan bijaksana. Di bawah kepemimpinannya jazirah Arab mendapatkan kemakmuran dan kedamaian. Sebagai pemimpin negeri, Umar bin Abdul Aziz tak segan-segan menemui rakyatnya, di mana saja. Bahkan, dia tak pernah menolak tamu hanya karena belum ada janji dengannya. Siapa saja yang datang ke istana maupun ke rumahnya ditemuinya dengan keramahtamaan yang luar biasa. Sosok Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai pemimpin yang selalu takut kepada Allah dan berbuat maksimal untuk rakyatnya.
Sedangkan Abu Hanifah, yang bernama asli Nu'man bin Tsabit bin Al-Marzuban, adalah perintis dalam mengembangkan ilmu fikih. Sebagai ulama, Abu Hanifah tidak mau hidupnya bergantung kepada pihak lain. Untuk itu, dia berniaga dengan menerapkan prinsip-prinsip Islami. Dan ternyata ia sukses secara finansial. Setiap tahun, Abu Hanifah selalu menghitung keuntungannya dalam berniaga. Lalu, dari keuntungannya itu, sebagian kecil ia sisihkan untuk diri dan keluarganya, sebagian besar lainnya diberikan kepada fakir miskin, para janda, anak-anak yatim, musafir yang kehabisan bekal, dan para penuntut imu.
Sosok Abu Hanifah adalah teladan bagi para pendakwah. Ilmunya bak samudra, disampaikan ilmunya tadi dengan hikmah, dipraktekkan dalam kehidupan nyata, dan tidak mau menerima pemberian dari penguasa. Abu Hanifah tampil sebagai ulama mandiri yang berani berkata dan berbicara apa adanya, kepada siapa pun.
Ada 30 generasi tabiin yang didokumentasi dalam buku ini. Sedikitnya ada empat hal yang melekat pada mereka: semangat mencari dan mengembangkan ilmu, mempraktekkan ilmu yang didapat dalam kehidupan keseharian, hidup sederhana, dan berdakwah tanpa adanya rasa takut kepada penguasa. Inilah semangat yang mesti dihidup-hidupkan, bukan mencari penghidupan dari berdakwah!
Herry Mohammad