Jual Buku Si Vis Pacem Para Bellum: Membangun Pertahanan Negara yang Modern dan Efektif
Judul: Si Vis Pacem Para Bellum: Membangun Pertahanan Negara yang Modern dan Efektif
Penulis: Sayidiman Suryohadiprojo
Penerbit: Gramedia, 2005
Tebal: 355 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 70.000 (blm ongkir)
SMS/WA: 085225918312
Perang, menurut Carl von Clausewitz, adalah tindakan kekerasan untuk memaksa musuh tunduk pada kehendak kita. Secara langsung, rumusan klasik ini mengandaikan kekuatan militer dan sistem persenjataannya sebagai andalan untuk menaklukkan lawan dan memenangi pertempuran.
Rumusan klasik itu ternyata tidak berlaku lagi di masa modern. Beragam cara dan metode telah dikembangkan, terutama sejak pecah Perang Dunia II. Di balik perang bersenjata, ada lagi operasi intelijen. Di balik operasi intelijen, masih ada lagi perang dan penyesatan informasi. Bahkan, yang mutakhir, negara kuat seperti Amerika menggunakan soft power untuk menaklukkan bangsa lain.
Sebagai mantan serdadu pemikir tiga zaman, Sayidiman menyumbangkan pemikirannya tentang sistem pertahanan negara di masa kini. Sesuai perkembangan zaman, ia melihat pembangunan pertahanan negara tidak lagi sekadar membangun militer yang kuat. Lebih dari itu, pertahanan berkaitan dengan kemampuan bangsa ini menangkal segala bentuk infiltrasi dari luar, termasuk pembusukan secara ideologis.
Dalam kaitan dengan kemampuan militer, Sayidiman mencatat, daya tahan terhadap serangan dari luar juga bukan hanya mensyaratkan sistem persenjataan yang memadai dan tentara yang modern. Sistem itu juga mesti dibarengi dengan kemampuan membangun pertahanan rakyat semesta, seperti terbukti ampuh dalam sejumlah perang. Termasuk Perang Vietnam. Demikian pula pengalaman Indonesia di masa revolusi kemerdekaan.
Lebih dari itu, kemampuan pertahanan juga memiliki aspek lain, yakni kemampuan suatu bangsa menangkal pengaruh penyusupan "ideologi" dari luar. Demikian pula, pertahanan diartikan sebagai kemampuan bangsa menghadapi perang melawan penyesatan informasi.
Di masa modern, Sayidiman mencatat keberhasilan Hitler mengembangkan cara baru menundukkan lawan: subversi alias pembusukan dari dalam. Ia membangun satu divisi khusus propaganda untuk melumpuhkan lawannya. Dengan cara itulah, Jerman menaklukkan Austria tanpa harus menggunakan kekuatan bersenjata.
Sejarah juga membuktikan, cara bersenjata dalam perang konvensional serta penyusupan intelijen dan subversi yang dilakukan negara besar tak selamanya berhasil. Sayidiman mencatat kegagalan Amerika di Vietnam dan yang mutakhir di Afghanistan. Demikian pula kegagalannya mencapai tujuan dalam serangan ke Irak atas nama demokrasi.
Dan, sederet kegagalan lain sesungguhnya masih bisa dicatat. Satu di antaranya adalah kegagalan total Amerika menggulingkan Fidel Castro di Kuba. Intelijen Amerika berupaya melakukan pembusukan dari dalam, dengan memanfaatkan para penentang Castro. Tapi, serangan yang dilakukan lewat jalur Teluk Babi itu tak berhasil menjatuhkan sang diktator. Ini salah satu catatan kegagalan besar operasi intelijen yang dilakukan Amerika di tahun 1960-an.
Dalam buku ini, Sayidiman tak lupa menyinggung sejumlah tantangan yang bakal dihadapi Indonesia di masa depan. Munculnya Cina dan India sebagai kekuatan baru diperkirakan jelas bakal mengubah peta geopolitik internasional. Belum lagi masalah sengketa perbatasan berpotensi menghangatkan suhu hubungan dengan negara-negara tetangga. Ini membutuhkan kemampuan diplomasi yang juga merupakan bagian dari sistem pertahanan.
Setelah membaca buku ini, yang muncul justru rasa prihatin yang amat dalam. Betapa bangsa ini belakangan ternyata sangat rentan terhadap serangan dari luar. Secara militer, misalnya, alat utama sistem persenjataan kita boleh dibilang lemah. Terlebih lagi, doktrin pertahanan rakyat semesta yang sejatinya ampuh untuk membangun daya tangkal terhadap serangan militer terbuka kini sudah tergerus akibat pemahaman yang keliru tentang konsep itu.
Dalam konteks itulah buku ini pantas dibaca oleh generasi muda bangsa ini. Sebab, sesuai dengan judul buku ini: Si Vis Pacem Para Bellum --kalau ingin damai, bersiaplah untuk perang dalam bentuk apa pun.
Erwin Y. Salim
Penulis: Sayidiman Suryohadiprojo
Penerbit: Gramedia, 2005
Tebal: 355 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 70.000 (blm ongkir)
SMS/WA: 085225918312
Perang, menurut Carl von Clausewitz, adalah tindakan kekerasan untuk memaksa musuh tunduk pada kehendak kita. Secara langsung, rumusan klasik ini mengandaikan kekuatan militer dan sistem persenjataannya sebagai andalan untuk menaklukkan lawan dan memenangi pertempuran.
Rumusan klasik itu ternyata tidak berlaku lagi di masa modern. Beragam cara dan metode telah dikembangkan, terutama sejak pecah Perang Dunia II. Di balik perang bersenjata, ada lagi operasi intelijen. Di balik operasi intelijen, masih ada lagi perang dan penyesatan informasi. Bahkan, yang mutakhir, negara kuat seperti Amerika menggunakan soft power untuk menaklukkan bangsa lain.
Sebagai mantan serdadu pemikir tiga zaman, Sayidiman menyumbangkan pemikirannya tentang sistem pertahanan negara di masa kini. Sesuai perkembangan zaman, ia melihat pembangunan pertahanan negara tidak lagi sekadar membangun militer yang kuat. Lebih dari itu, pertahanan berkaitan dengan kemampuan bangsa ini menangkal segala bentuk infiltrasi dari luar, termasuk pembusukan secara ideologis.
Dalam kaitan dengan kemampuan militer, Sayidiman mencatat, daya tahan terhadap serangan dari luar juga bukan hanya mensyaratkan sistem persenjataan yang memadai dan tentara yang modern. Sistem itu juga mesti dibarengi dengan kemampuan membangun pertahanan rakyat semesta, seperti terbukti ampuh dalam sejumlah perang. Termasuk Perang Vietnam. Demikian pula pengalaman Indonesia di masa revolusi kemerdekaan.
Lebih dari itu, kemampuan pertahanan juga memiliki aspek lain, yakni kemampuan suatu bangsa menangkal pengaruh penyusupan "ideologi" dari luar. Demikian pula, pertahanan diartikan sebagai kemampuan bangsa menghadapi perang melawan penyesatan informasi.
Di masa modern, Sayidiman mencatat keberhasilan Hitler mengembangkan cara baru menundukkan lawan: subversi alias pembusukan dari dalam. Ia membangun satu divisi khusus propaganda untuk melumpuhkan lawannya. Dengan cara itulah, Jerman menaklukkan Austria tanpa harus menggunakan kekuatan bersenjata.
Sejarah juga membuktikan, cara bersenjata dalam perang konvensional serta penyusupan intelijen dan subversi yang dilakukan negara besar tak selamanya berhasil. Sayidiman mencatat kegagalan Amerika di Vietnam dan yang mutakhir di Afghanistan. Demikian pula kegagalannya mencapai tujuan dalam serangan ke Irak atas nama demokrasi.
Dan, sederet kegagalan lain sesungguhnya masih bisa dicatat. Satu di antaranya adalah kegagalan total Amerika menggulingkan Fidel Castro di Kuba. Intelijen Amerika berupaya melakukan pembusukan dari dalam, dengan memanfaatkan para penentang Castro. Tapi, serangan yang dilakukan lewat jalur Teluk Babi itu tak berhasil menjatuhkan sang diktator. Ini salah satu catatan kegagalan besar operasi intelijen yang dilakukan Amerika di tahun 1960-an.
Dalam buku ini, Sayidiman tak lupa menyinggung sejumlah tantangan yang bakal dihadapi Indonesia di masa depan. Munculnya Cina dan India sebagai kekuatan baru diperkirakan jelas bakal mengubah peta geopolitik internasional. Belum lagi masalah sengketa perbatasan berpotensi menghangatkan suhu hubungan dengan negara-negara tetangga. Ini membutuhkan kemampuan diplomasi yang juga merupakan bagian dari sistem pertahanan.
Setelah membaca buku ini, yang muncul justru rasa prihatin yang amat dalam. Betapa bangsa ini belakangan ternyata sangat rentan terhadap serangan dari luar. Secara militer, misalnya, alat utama sistem persenjataan kita boleh dibilang lemah. Terlebih lagi, doktrin pertahanan rakyat semesta yang sejatinya ampuh untuk membangun daya tangkal terhadap serangan militer terbuka kini sudah tergerus akibat pemahaman yang keliru tentang konsep itu.
Dalam konteks itulah buku ini pantas dibaca oleh generasi muda bangsa ini. Sebab, sesuai dengan judul buku ini: Si Vis Pacem Para Bellum --kalau ingin damai, bersiaplah untuk perang dalam bentuk apa pun.
Erwin Y. Salim