NII Sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia
NII Sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia
Penulis: Solahudin
Penerbit: Komunitas Bambu, Depok, Mei 2011, xvii+ 287 halaman
Kalender menunjuk tanggal 4 Juni 1962. Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo beserta segelintir pengikutnya sampai di sebuah lembah di antara Gunung Sangkar dan Gunung Geber di wilayah Bandung Selatan, Jawa Barat. Pada waktu itu, hujan turun deras. Rombongan pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) itu lalu berteduh di tenda-tenda darurat.
Tiba-tiba serentetan tembakan meletus dari bawah bukit. Tiga peleton pasukan TNI mengepung rombongan kecil itu. Sejumlah pengawal Kartosuwirjo sebenarnya hendak nekat melawan, tapi sang imam melarang. "Jangan menembak," katanya. Pada hari itu, Kartosuwirjo akhirnya ditangkap pasukan TNI.
Pria kelahiran 7 Januari 1907 di Cepu, Jawa Tengah, itu kelihatan payah pada saat ditangkap. Lalu, pada 5 September 1962, di suatu pagi buta, ia dihukum tembak mati di salah satu pulau di Kepulauan Seribu. Riwayat Kartosuwirjo memang tamat, tapi ideologi dan ajarannya tak pernah bisa diberangus.
Buku karya Solahudin ini dengan bagus menunjukkan, Kartosuwirjo adalah bapak bagi kaum radikal di Indonesia. Meski sebagian pemikirannya kemudian direvisi generasi jihadi yang datang sesudahnya, radikalisme DI yang didirikannya terwariskan secara sambung-menyambung sampai generasi mujahidin yang ikut latihan perang di Afghanistan pada 1980-an.
Pangkal soalnya adalah tidak matinya DI, terutama sebagai ideologi, setelah 1962. Hubungan para anggota DI dengan TNI sempat mesra ketika terjadinya Gerakan 30 September 1965 dan beberapa tahun sesudah itu. Lalu, pada 1970-an, niat menghidupkan kembali DI bergaung cukup kencang.
Pada 1971, diadakan acara reuni anggota DI yang dihadiri 3.000 orang di Bandung. Inilah momentum yang kemudian mengonsolidasikan kembali DI sebagai institusi. Pada 1981, sebagai imbas atas aksi-aksi para anggota DI, aparat keamanan melakukan penangkapan terhadap sebagian besar pemimpin organisasi itu.
Namun, lagi-lagi, organisasi itu tidak dengan sendirinya mati. Kepemimpinan DI diambil alih kader-kadernya di Solo dan Yogyakarta, kemudian memunculkan figur baru: Abdullah Sungkar. Bersamaan dengan itu, paham Islam modern berupa ajaran Salafi dan Ikhwanul Muslimin mulai memasuki DI.
Ketika Sungkar bersama Abu Bakar Ba'asyir hijrah ke Malaysia untuk menghindari penangkapan, mulailah periode baru dalam tubuh DI, yakni pengiriman anggotanya untuk berlatih perang di Afghanistan. Pada 1965-1991, tercatat ada 200 lebih anggota DI yang berlatih di sana. Di antara mereka kemudian lahir tokoh penting dalam gerakan radikal, seperti Ali Ghufron, Hambali, dan Fahturohman Al Ghozi.
Pada saat Sungkar memutuskan untuk mendirikan Jamaah Islamiyah (JI) dan berpisah dari DI pimpinan Ajengan Masduki, kebanyakan alumni Afghanistan memilih bergabung dengan JI. Dari JI ini, kelak lahirlah sejumlah aksi teror di Indonesia pada awal tahun 2000-an hingga Bom Bali I pada 2002 --aksi yang sejatinya bukanlah kebijakan resmi JI karena Sungkar wafat pada 1999.
Aksi teror bom itu direncanakan sekelompok orang yang sebelumnya merupakan pengurus Mantiqi I JI, yang meliputi Malaysia dan Singapura. Tokoh sentralnya adalah Hambali, yang kemudian didukung Ali Ghufron, Amrozi, dan Imam Samudra.
Yang juga menarik dari buku ini adalah analisis perihal ideologi Salafy Jihadisme yang menjadi dasar utama para pelaku teror. Salafy Jihadisme sebagai ideologi berkembang pada masa perang Afghanistan melawan Uni Soviet, dengan tokoh kunci Abdullah Azzam dan Osama bin Laden.
Doktrin inilah yang kemudian dengan mudah diadopsi JI karena doktrin yang diperkenalkan Kartosuwirjo punya kemiripan dengan Salafy Jihadisme. Barangkali ini pula yang menjadikan Salafy Jihadisme sebagai ideologi mudah terserap di Indonesia.
Haris Firdaus
Penulis: Solahudin
Penerbit: Komunitas Bambu, Depok, Mei 2011, xvii+ 287 halaman
Kalender menunjuk tanggal 4 Juni 1962. Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo beserta segelintir pengikutnya sampai di sebuah lembah di antara Gunung Sangkar dan Gunung Geber di wilayah Bandung Selatan, Jawa Barat. Pada waktu itu, hujan turun deras. Rombongan pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) itu lalu berteduh di tenda-tenda darurat.
Tiba-tiba serentetan tembakan meletus dari bawah bukit. Tiga peleton pasukan TNI mengepung rombongan kecil itu. Sejumlah pengawal Kartosuwirjo sebenarnya hendak nekat melawan, tapi sang imam melarang. "Jangan menembak," katanya. Pada hari itu, Kartosuwirjo akhirnya ditangkap pasukan TNI.
Pria kelahiran 7 Januari 1907 di Cepu, Jawa Tengah, itu kelihatan payah pada saat ditangkap. Lalu, pada 5 September 1962, di suatu pagi buta, ia dihukum tembak mati di salah satu pulau di Kepulauan Seribu. Riwayat Kartosuwirjo memang tamat, tapi ideologi dan ajarannya tak pernah bisa diberangus.
Buku karya Solahudin ini dengan bagus menunjukkan, Kartosuwirjo adalah bapak bagi kaum radikal di Indonesia. Meski sebagian pemikirannya kemudian direvisi generasi jihadi yang datang sesudahnya, radikalisme DI yang didirikannya terwariskan secara sambung-menyambung sampai generasi mujahidin yang ikut latihan perang di Afghanistan pada 1980-an.
Pangkal soalnya adalah tidak matinya DI, terutama sebagai ideologi, setelah 1962. Hubungan para anggota DI dengan TNI sempat mesra ketika terjadinya Gerakan 30 September 1965 dan beberapa tahun sesudah itu. Lalu, pada 1970-an, niat menghidupkan kembali DI bergaung cukup kencang.
Pada 1971, diadakan acara reuni anggota DI yang dihadiri 3.000 orang di Bandung. Inilah momentum yang kemudian mengonsolidasikan kembali DI sebagai institusi. Pada 1981, sebagai imbas atas aksi-aksi para anggota DI, aparat keamanan melakukan penangkapan terhadap sebagian besar pemimpin organisasi itu.
Namun, lagi-lagi, organisasi itu tidak dengan sendirinya mati. Kepemimpinan DI diambil alih kader-kadernya di Solo dan Yogyakarta, kemudian memunculkan figur baru: Abdullah Sungkar. Bersamaan dengan itu, paham Islam modern berupa ajaran Salafi dan Ikhwanul Muslimin mulai memasuki DI.
Ketika Sungkar bersama Abu Bakar Ba'asyir hijrah ke Malaysia untuk menghindari penangkapan, mulailah periode baru dalam tubuh DI, yakni pengiriman anggotanya untuk berlatih perang di Afghanistan. Pada 1965-1991, tercatat ada 200 lebih anggota DI yang berlatih di sana. Di antara mereka kemudian lahir tokoh penting dalam gerakan radikal, seperti Ali Ghufron, Hambali, dan Fahturohman Al Ghozi.
Pada saat Sungkar memutuskan untuk mendirikan Jamaah Islamiyah (JI) dan berpisah dari DI pimpinan Ajengan Masduki, kebanyakan alumni Afghanistan memilih bergabung dengan JI. Dari JI ini, kelak lahirlah sejumlah aksi teror di Indonesia pada awal tahun 2000-an hingga Bom Bali I pada 2002 --aksi yang sejatinya bukanlah kebijakan resmi JI karena Sungkar wafat pada 1999.
Aksi teror bom itu direncanakan sekelompok orang yang sebelumnya merupakan pengurus Mantiqi I JI, yang meliputi Malaysia dan Singapura. Tokoh sentralnya adalah Hambali, yang kemudian didukung Ali Ghufron, Amrozi, dan Imam Samudra.
Yang juga menarik dari buku ini adalah analisis perihal ideologi Salafy Jihadisme yang menjadi dasar utama para pelaku teror. Salafy Jihadisme sebagai ideologi berkembang pada masa perang Afghanistan melawan Uni Soviet, dengan tokoh kunci Abdullah Azzam dan Osama bin Laden.
Doktrin inilah yang kemudian dengan mudah diadopsi JI karena doktrin yang diperkenalkan Kartosuwirjo punya kemiripan dengan Salafy Jihadisme. Barangkali ini pula yang menjadikan Salafy Jihadisme sebagai ideologi mudah terserap di Indonesia.
Haris Firdaus