Muslims Today: Changes Within, Challenges Without
Muslims Today: Changes Within, Challenges Without
Penulis: Chandra Muzaffar
Penerbit: Emel Publications, Pakistan, 2011, xiv + 281 halaman
Islam pada saat ini menghadapi tantangan global multidimensi. Sebut saja penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM), demokrasi, atau kesetaraan gender. Berbagai asumsi teoretis memperlihatkan ketiadaan ruang temu antara Islam dan berbagai isu tersebut. Sebagai contoh, hak-hak perempuan dalam Islam tidak pernah setara dengan laki-laki. Demokrasi yang mensyaratkan jarak antara otoritas agama dan politik (sekularisasi) tidak ada presedennya dalam Islam, sehingga sering ditolak mentah-mentah.
Asumsi-asumsi itu diperkuat dengan fakta di lapangan. Di antara negara-negara Islam, khususnya di Timur Tengah, penegakan HAM lebih sering diwarnai pengebirian. Potret demokrasi tak lebih dari penampakan buram otoritarianisme. Kaum perempuan diperlakukan diskriminatif. Maka, sulit sekali kita menemukan bukti empiris bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil 'alamin (berkah bagi semesta).
Di sisi lain, aksi terosisme yang sering mengatasnamakan Islam membuatnya terperosok dalam jurang gelap pewartaan: sebagai agama yang mengedepankan kekerasan. Lalu lintas diskursus politik di negara-negara Islam tak lebih dari sekadar cerita perebutan kekuasaan hingga cerita monarki absolut yang tak jarang bertindak despotik. Sekian banyak bukti empiris itu akhirnya memunculkan cap buruk di kalangan masyarakat nonmuslim.
Dalam buku ini, Chandra Muzaffar, seorang intelektual Malaysia, memaparkan dengan baik permasalahan kontemporer yang dihadapi kaum muslim secara global. Selain berangkat dari bukti-bukti empiris, di mana Islam sebagai agama telanjur jumud hingga tidak mampu merespons permasalahan yang ada, ia juga menafsirkan ulang teks-teks teologis.
Lebih tepat lagi, ia mengontekstualkan doktrin-doktrin Islam dengan semangat zaman yang terus berubah. Bagi Muzaffar, kejumudan Islam di negara-negara mayoritas berpenduduk muslim salah satunya disebabkan kuatnya interpretasi teologis yang cenderung skripturalistik dan dimaknai dengan sempit.
Muzaffar juga mengkritik budaya yang berkembang dalam masyarakat muslim, di mana agama sering tidak mampu menjadi penawar banyak persoalan kontemporer, misalnya kemiskinan dan kesenjangan ekonomi. Ini erat kaitannya dengan orientasi yang berkembang di tengah komunitas muslim, di mana penegakan syariah melulu hanya persoalan seputar hukum normatif.
Hal itu bisa dilihat bagaimana Islam seolah hanya mengurusi hukum cambuk bagi pezina atau mewajibkan hijab bagi perempuan. Juga masalah fikih lainnya yang sering lebih menyita perhatian umat Islam hingga tidak sempat merespond tantangan global. Di sisi lain, demokrasi sebagai upaya penghormatan atas kebebasan dan kesetaraan, yang seharusnya bisa sejalan dengan apa yang digariskan ajaran Islam, lebih sering dilihat sebagai produk Barat yang tidak cocok diterapkan oleh umat Islam.
Di tengah kompleksitas permasalahan yang ada kini, tantangan yang dihadapi adalah membangun satu dialog peradaban yang kondusif bagi terbangunnya relasi tanpa prasangka. Tantangan itu ditangkap oleh Muzaffar sebagai upaya menjalin hubungan tanpa hegemoni. Sebab, bagi Muzaffar, inisiatif dialog antar-peradaban ini juga harus datang dari Barat. Prasangka dan streotipe yang dilekatkan Barat pada Islam akan menjadi hambatan serius bagi usaha konstruktif membangun dialog yang saling menghormati.
Buku ini mencerminkan kegelisahan penulisnya akan realitas umat Islam pada zaman ini. Agaknya apa yang dilakukan Muzaffar dalam tulisan-tulisannya banyak berkaca pada intelektual muslim Indonesia, seperti Nurcholish Madjid, Gus Dur, Azyumardi Azra, hingga generasi intelektual yang datang setelahnya.
Bisa jadi, apa yang diutarakan Muzaffar juga berangkat dari permasalahan di negerinya. Walau demikian, buku ini masih tetap bisa menjadi cermin untuk melihat potret umat Islam secara keseluruhan, di mana persoalan serius keumatan akan terus hadir. Terlebih lagi, dia pun menawarkan suguhan analisis bagi jalan keluar dari banyak kemelut yang terjadi pada umat Islam.
Angga Yudhiyansyah
Mahasiswa Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS) UGM
Penulis: Chandra Muzaffar
Penerbit: Emel Publications, Pakistan, 2011, xiv + 281 halaman
Islam pada saat ini menghadapi tantangan global multidimensi. Sebut saja penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM), demokrasi, atau kesetaraan gender. Berbagai asumsi teoretis memperlihatkan ketiadaan ruang temu antara Islam dan berbagai isu tersebut. Sebagai contoh, hak-hak perempuan dalam Islam tidak pernah setara dengan laki-laki. Demokrasi yang mensyaratkan jarak antara otoritas agama dan politik (sekularisasi) tidak ada presedennya dalam Islam, sehingga sering ditolak mentah-mentah.
Asumsi-asumsi itu diperkuat dengan fakta di lapangan. Di antara negara-negara Islam, khususnya di Timur Tengah, penegakan HAM lebih sering diwarnai pengebirian. Potret demokrasi tak lebih dari penampakan buram otoritarianisme. Kaum perempuan diperlakukan diskriminatif. Maka, sulit sekali kita menemukan bukti empiris bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil 'alamin (berkah bagi semesta).
Di sisi lain, aksi terosisme yang sering mengatasnamakan Islam membuatnya terperosok dalam jurang gelap pewartaan: sebagai agama yang mengedepankan kekerasan. Lalu lintas diskursus politik di negara-negara Islam tak lebih dari sekadar cerita perebutan kekuasaan hingga cerita monarki absolut yang tak jarang bertindak despotik. Sekian banyak bukti empiris itu akhirnya memunculkan cap buruk di kalangan masyarakat nonmuslim.
Dalam buku ini, Chandra Muzaffar, seorang intelektual Malaysia, memaparkan dengan baik permasalahan kontemporer yang dihadapi kaum muslim secara global. Selain berangkat dari bukti-bukti empiris, di mana Islam sebagai agama telanjur jumud hingga tidak mampu merespons permasalahan yang ada, ia juga menafsirkan ulang teks-teks teologis.
Lebih tepat lagi, ia mengontekstualkan doktrin-doktrin Islam dengan semangat zaman yang terus berubah. Bagi Muzaffar, kejumudan Islam di negara-negara mayoritas berpenduduk muslim salah satunya disebabkan kuatnya interpretasi teologis yang cenderung skripturalistik dan dimaknai dengan sempit.
Muzaffar juga mengkritik budaya yang berkembang dalam masyarakat muslim, di mana agama sering tidak mampu menjadi penawar banyak persoalan kontemporer, misalnya kemiskinan dan kesenjangan ekonomi. Ini erat kaitannya dengan orientasi yang berkembang di tengah komunitas muslim, di mana penegakan syariah melulu hanya persoalan seputar hukum normatif.
Hal itu bisa dilihat bagaimana Islam seolah hanya mengurusi hukum cambuk bagi pezina atau mewajibkan hijab bagi perempuan. Juga masalah fikih lainnya yang sering lebih menyita perhatian umat Islam hingga tidak sempat merespond tantangan global. Di sisi lain, demokrasi sebagai upaya penghormatan atas kebebasan dan kesetaraan, yang seharusnya bisa sejalan dengan apa yang digariskan ajaran Islam, lebih sering dilihat sebagai produk Barat yang tidak cocok diterapkan oleh umat Islam.
Di tengah kompleksitas permasalahan yang ada kini, tantangan yang dihadapi adalah membangun satu dialog peradaban yang kondusif bagi terbangunnya relasi tanpa prasangka. Tantangan itu ditangkap oleh Muzaffar sebagai upaya menjalin hubungan tanpa hegemoni. Sebab, bagi Muzaffar, inisiatif dialog antar-peradaban ini juga harus datang dari Barat. Prasangka dan streotipe yang dilekatkan Barat pada Islam akan menjadi hambatan serius bagi usaha konstruktif membangun dialog yang saling menghormati.
Buku ini mencerminkan kegelisahan penulisnya akan realitas umat Islam pada zaman ini. Agaknya apa yang dilakukan Muzaffar dalam tulisan-tulisannya banyak berkaca pada intelektual muslim Indonesia, seperti Nurcholish Madjid, Gus Dur, Azyumardi Azra, hingga generasi intelektual yang datang setelahnya.
Bisa jadi, apa yang diutarakan Muzaffar juga berangkat dari permasalahan di negerinya. Walau demikian, buku ini masih tetap bisa menjadi cermin untuk melihat potret umat Islam secara keseluruhan, di mana persoalan serius keumatan akan terus hadir. Terlebih lagi, dia pun menawarkan suguhan analisis bagi jalan keluar dari banyak kemelut yang terjadi pada umat Islam.
Angga Yudhiyansyah
Mahasiswa Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS) UGM