Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Keanekaragaman Hayati Pertanian Menjamin Kedaulatan Pangan

Keanekaragaman Hayati Pertanian Menjamin Kedaulatan Pangan
Penulis: Setijati D. Sastrapradja dan Elizabeth A. Widjaja
Penerbit: LIPI Press, Jakarta, 2010, viii+70 halaman

Banyaknya bencana akhir-akhir ini diyakini akibat perubahan iklim yang terpicu oleh kegiatan manusia sendiri. Bahkan diramalkan, negara-negara kepulauan akan kehilangan pulau-pulau kecilnya karena kenaikan permukaan air laut. Air tawar juga akan menjadi barang langka. Padahal, dalam pertanian, air tawar adalah hal pokok yang sangat di butuhkan.

Buku ini membeberkan agenda yang berkaitan dengan hal tersebut. Pada 1992, PBB menggelar konferensi mengenai pembangunan dan lingkungan hidup di Rio de Janeiro, Brasil. Ada empat dokumen yang ditandatangani guna menyambut abad ke-21, yaitu Agenda 21, Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati, Prinsip-prinsip Kehutanan, dan Kerangka Konvensi tentang Perubahan Iklim.

Walau demikian, 17 tahun kemudian, masih banyak negara yang tidak mengubah pelaksanaan pembangunan di negaranya. Tak disangkal pula, ada beberapa negara yang institusi lingkungan hidupnya berminat melakukan kegiatan antarnegara dalam pembangunan yang ramah lingkungan, misalnya Indonesia. Indonesia menyusun Agenda 21 pada 1997.

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki banyak keanekaragaman hayati, baik yang ditemukan maupun yang terbawa oleh kapal-kapal pengangkut barang. Tanpa kesungguhan dalam memanfaatkannya, kekayaan ini diramalkan bakal lenyap sebelum Indonesia mampu memberikan nilai tambah ataupun memanfaatkannya secara optimal.

Menurut dua penulis buku ini, keanekaragaman hayati lebih menarik perhatian mereka yang bergerak di bidang kehutanan, terutama dari segi pelestarian hewan. Hutan Indonesia memang bukan habitat asli sebagian besar tanaman pangan. Itu pangkalnya, mengapa sektor pertanian di Indonesia masih belum segiat sektor kehutanan dalam menangani keanekaragaman hayati. Padahal, dalam peta pertumbuhan ekonomi, Indonesia tercantum sebagai salah satu pusat penyebaran sejumlah jenis tumbuhan berguna untuk kehidupan manusia.

Sejak Perang Dunia II berakhir, keanekaragaman hayati kian menyusut. Upaya pelestariannya kurang memperoleh perhatian karena banyak faktor yang harus ditangani pemerintah negara-negara berkembang. Di tingkat global, pelestarian keanekaragaman hayati pertanian ini diupayakan melalui jaringan bank gen internasional. Bahkan sekarang telah terbangun bank gen permanen untuk sumber daya genetik berupa biji-bijian di Svalbard Global Seed Vault, Norwegia.

Jarang yang mengetahui bahwa Indonesia masuk dalam peta pertumbuhan ekonomi. Artinya, penyebaran utamanya ada di kawasan Indonesia. Kalau saja jenis-jenis asli Indonesia, baik berupa tumbuhan, hewan, maupun mikroba, dapat d tangani secara sungguh-sungguh, tentu pemanfaatannya akan dapat menjadi keunggulan komparatif negeri ini.

Isu pokok yang dibahas dalam buku ini adalah pertumbuhan penduduk yang sangat berpengaruh pada permintaan pangan. Hal yang sangat merisaukan, ketahanan pangan yang selama ini didambakan Indonesia masih berputar pada swasembada beras. Padahal, kalau dilihat dari sumber pangan yang tersedia, baik dari daratan maupun lautan, peluang Indonesia untuk dapat menegakkan kedaulatan pangan sangat besar.

Di sisi lain, kecenderungan penyusutan lahan pertanian dan berkurangnya air untuk irigasi menyebabkan kurang cerahnya produksi pangan pada abad ke-21. Yang tidak kalah penting adalah kebijakan tata ruang dan tata guna lahan yang tepat. Selain itu, upaya peningkatan produksi pertanian harus diimbangi dengan upaya menyeimbangkan jumlah penduduk..

Ke depan, harus dibuat rencana menyeluruh agar keanekaragaman hayati pertanian, baik yang ada di daratan maupun lautan, dapat kita manfaatkan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Kita menyadari bahwa Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati, tapi potensinya sekarang masih tetap tinggal potensi. Sementara itu, keberadaan kekayaan tersebut masih terus terancam.

Rukmi Hapsari