Islamism and Democracy in Indonesia: Piety and Pragmatism
Islamism and Democracy in Indonesia: Piety and Pragmatism
Penulis: Masdar Hilmy
Penerbit: Institute of Southeast Asian Studies, Singapura, 2010, xi + 319 halaman
Setelah Orde Baru tumbang, euforia kebebasan ternyata membawa serta diskursus Islam politik maupun gerakan Islam yang lama terepresi oleh rezim Soeharto. Dalam kemunculannya, gerakan ini mengambil bentuk yang sangat beragam dalam percaturan politik maupun diskursus publik di Indonesia.
Namun, secara garis besar, ada satu kesamaan yang cukup mendasar pada setiap gerakan Islam ini, yaitu menganggit Islam sebagai ideologi. Paham atau gerakan yang menggadang Islam sebagai basis ideologinya ini sering disebut Islamisme. Penyebutan ini memang sering bias.
Islamisme di Indonesia dalam hal ini juga tidak pernah memiliki wajah yang seragam. Wujudnya sangat tampak dalam cara beragam kelompok Islam merespons nilai-nilai yang sering dianggap tidak memiliki preseden dalam tradisi Islam. Salah satunya adalah demokrasi.
Berbagai interpretasi tentang sejauh mana Islam bisa bersanding dengan demokrasi menunjukkan bahwa Islamisme di Indonesia mewujud dalam keragaman. Interpretasi dan respons terhadap demokrasi oleh kelompok-kelompok Islamis ini ada yang mengambil bentuk positif, akomodatif pragmatis, hingga negatif dalam arti menolaknya mentah-mentah.
Buku karya Masdar Hilmy, seorang intelektual muda, ini meneropong gejala Islamisme di Indonesia dengan berbagai macam penampakannya. Hilmy mengafirmasi Islamisme sebagai sesuatu yang sangat dinamis dalam pengidentifikasiannya maupun pengelompokannya. Islamisme bukanlah sebuah konsep dengan batasan-batasan yang statis, apalagi dihadap-hadapkan dengan kelompok Islam moderat maupun liberal.
Di Indonesia, bagi Hilmy, kontestasi diskursus Islam tak terhindarkan akibat beragamnya interpretasi. Model-model kelompok Islamis di Indonesia menampakkan beragamnya wajah Islam yang berkelindan dalam kehidupan umat Islam di negeri ini. Dalam buku ini, Hilmy menukik pada tiga kelompok yang masing-masing memiliki karakteristik berbeda. Khususnya respons kelompok-kelompok ini terhadap demokrasi serta cara kelompok ini memosisikan Islam dan demokrasi.
Dalam kajiannya, Hilmy meneliti tiga organisasi: MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Ia membagi dua spektrum model gerakan kelompok Islamis, utamanya respons terhadap demokrasi. Spektrum pertama menempuh jalan non-parlementer dalam menyuarakan cita-citanya, sedangkan yang kedua memilih politik praktis sebagai wahana mempromosikan Islam.
Jika melihat karakteristik tiga organisasi itu, HTI dan MMI termasuk dalam spektrum pertama yang menempuh jalan non-parlementer dalam mempromosikan ide-idenya. Sedangkan PKS termasuk kelompok yang menempuh jalur parlementer dalam aktivisme politiknya.
Karakter HTI adalah menolak demokrasi yang sekuler dan mempromosikan khilafah sebagai model pemerintahan ideal. Karena itu, HTI tidak pernah berpartisipasi dalam pemilu, yang notabene adalah bagian dari demokrasi. Begitu pun MMI yang bercita-cita menegakkan negara Islam dengan mempromosikan penegakan syariat Islam. Bagi MMI, krisis yang menimpa Indonesia adalah akibat sistem sekuler yang dianutnya. Solusinya adalah penegakan syariah, seperti termaktub dalam "Deklarasi Yogyakarta".
Terakhir adalah PKS yang mewakili kelompok yang terlibat dalam dinamika demokrasi di Indonesia, dengan tetap membawa simbol dan jargon Islam. PKS bisa digolongkan dalam kelompok Islam politik. Kelompok ini aktif menyuarakan ide-idenya melalui perangkat demokrasi dan tentu saja ikut andil dalam pemilu.
Mengambil contoh tiga organisasi itu tidak lantas berarti Islamisme hanya diwakili oleh ketiganya. Sebagaimana diakui Hilmy, banyak gerakan Islamis yang ada di Indonesia dengan berbagai responsnya terhadap demokrasi di Indonesia.
Secara keseluruhan, buku ini memberi pemahaman tentang beragamnya gerakan Islamisme di Indonesia. Khususnya usaha berbagai gerakan Islamis menempatkan Islam dan demokrasi. Buku yang awalnya disertasi doktoral penulisnya di Australian National University ini memiliki deskripsi yang padat dengan referensi dan bisa menjadi acuan untuk telaah lebih lanjut tentang Islamisme dan demokrasi di Indonesia.
Angga Yudhiyansyah
Mahasiswa Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM dan penggiat Relief (Religious Issues Forum)
Penulis: Masdar Hilmy
Penerbit: Institute of Southeast Asian Studies, Singapura, 2010, xi + 319 halaman
Setelah Orde Baru tumbang, euforia kebebasan ternyata membawa serta diskursus Islam politik maupun gerakan Islam yang lama terepresi oleh rezim Soeharto. Dalam kemunculannya, gerakan ini mengambil bentuk yang sangat beragam dalam percaturan politik maupun diskursus publik di Indonesia.
Namun, secara garis besar, ada satu kesamaan yang cukup mendasar pada setiap gerakan Islam ini, yaitu menganggit Islam sebagai ideologi. Paham atau gerakan yang menggadang Islam sebagai basis ideologinya ini sering disebut Islamisme. Penyebutan ini memang sering bias.
Islamisme di Indonesia dalam hal ini juga tidak pernah memiliki wajah yang seragam. Wujudnya sangat tampak dalam cara beragam kelompok Islam merespons nilai-nilai yang sering dianggap tidak memiliki preseden dalam tradisi Islam. Salah satunya adalah demokrasi.
Berbagai interpretasi tentang sejauh mana Islam bisa bersanding dengan demokrasi menunjukkan bahwa Islamisme di Indonesia mewujud dalam keragaman. Interpretasi dan respons terhadap demokrasi oleh kelompok-kelompok Islamis ini ada yang mengambil bentuk positif, akomodatif pragmatis, hingga negatif dalam arti menolaknya mentah-mentah.
Buku karya Masdar Hilmy, seorang intelektual muda, ini meneropong gejala Islamisme di Indonesia dengan berbagai macam penampakannya. Hilmy mengafirmasi Islamisme sebagai sesuatu yang sangat dinamis dalam pengidentifikasiannya maupun pengelompokannya. Islamisme bukanlah sebuah konsep dengan batasan-batasan yang statis, apalagi dihadap-hadapkan dengan kelompok Islam moderat maupun liberal.
Di Indonesia, bagi Hilmy, kontestasi diskursus Islam tak terhindarkan akibat beragamnya interpretasi. Model-model kelompok Islamis di Indonesia menampakkan beragamnya wajah Islam yang berkelindan dalam kehidupan umat Islam di negeri ini. Dalam buku ini, Hilmy menukik pada tiga kelompok yang masing-masing memiliki karakteristik berbeda. Khususnya respons kelompok-kelompok ini terhadap demokrasi serta cara kelompok ini memosisikan Islam dan demokrasi.
Dalam kajiannya, Hilmy meneliti tiga organisasi: MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Ia membagi dua spektrum model gerakan kelompok Islamis, utamanya respons terhadap demokrasi. Spektrum pertama menempuh jalan non-parlementer dalam menyuarakan cita-citanya, sedangkan yang kedua memilih politik praktis sebagai wahana mempromosikan Islam.
Jika melihat karakteristik tiga organisasi itu, HTI dan MMI termasuk dalam spektrum pertama yang menempuh jalan non-parlementer dalam mempromosikan ide-idenya. Sedangkan PKS termasuk kelompok yang menempuh jalur parlementer dalam aktivisme politiknya.
Karakter HTI adalah menolak demokrasi yang sekuler dan mempromosikan khilafah sebagai model pemerintahan ideal. Karena itu, HTI tidak pernah berpartisipasi dalam pemilu, yang notabene adalah bagian dari demokrasi. Begitu pun MMI yang bercita-cita menegakkan negara Islam dengan mempromosikan penegakan syariat Islam. Bagi MMI, krisis yang menimpa Indonesia adalah akibat sistem sekuler yang dianutnya. Solusinya adalah penegakan syariah, seperti termaktub dalam "Deklarasi Yogyakarta".
Terakhir adalah PKS yang mewakili kelompok yang terlibat dalam dinamika demokrasi di Indonesia, dengan tetap membawa simbol dan jargon Islam. PKS bisa digolongkan dalam kelompok Islam politik. Kelompok ini aktif menyuarakan ide-idenya melalui perangkat demokrasi dan tentu saja ikut andil dalam pemilu.
Mengambil contoh tiga organisasi itu tidak lantas berarti Islamisme hanya diwakili oleh ketiganya. Sebagaimana diakui Hilmy, banyak gerakan Islamis yang ada di Indonesia dengan berbagai responsnya terhadap demokrasi di Indonesia.
Secara keseluruhan, buku ini memberi pemahaman tentang beragamnya gerakan Islamisme di Indonesia. Khususnya usaha berbagai gerakan Islamis menempatkan Islam dan demokrasi. Buku yang awalnya disertasi doktoral penulisnya di Australian National University ini memiliki deskripsi yang padat dengan referensi dan bisa menjadi acuan untuk telaah lebih lanjut tentang Islamisme dan demokrasi di Indonesia.
Angga Yudhiyansyah
Mahasiswa Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM dan penggiat Relief (Religious Issues Forum)