Islam in Contention: Rethinking Islam and State in Indonesia
Islam in Contention: Rethinking Islam and State in Indonesia
Editor: Ota Atsushi, Okamoto Masaaki, dan Ahmad Suaedy
Penerbit: The Wahid Institute-CEAS-CAPAS, Jakarta, Desember 2010, 466 halaman
Islam di Indonesia memang punya pesona tersendiri yang berbeda dari Islam di belahan dunia mana pun. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia tidak menjadi negara Islam. Dengan pergumulan yang panjang, Indonesia mampu mendamaikan antara keislaman dan keindonesiaan.
Meski Islam Indonesia punya pengalaman dalam pergumulan politik, wajah utama Islam Indonesia bukanlah wajah politik, melainkan lebih sebagai Islam kultural. Jika Islam politik lebih berkaitan dengan kekuasaan, struktural, dan simbolik, Islam kultural lebih menekankan pada budaya dan substansi. Hal inilah yang memungkinkan wajah Islam di Indonesia tampak lebih moderat dibandingkan dengan Islam di belahan dunia yang lain.
Selain itu, Islam Indonesia bukanlah Islam yang monolitik. Meski ada arus utama Islam, varian-varian gerakan Islam Indonesia sangat variatif, baik dari segi isu maupun model gerakannya. Nah, buku berjudul Islam in Contention ini menampilkan berbagai variasi isu dan gerakan Islam, terutama dengan munculnya kelompok-kelompok Islam baru.
Sebagaimana dikemukakan editornya dalam pendahuluan, setidaknya ada tiga hal penting yang menandai perkembangan Islam di Indonesia satu dasawarsa terakhir yang menjadi titik tolak buku ini. Pertama, terjadinya Islamisasi hampir dalam seluruh sektor kehidupan masyarakat; kedua, semakin melemahnya kekuatan Islam politik; dan ketiga, semakin intensifnya konflik sosial berbasis agama.
Proses Islamisasi sosial sebenarnya terjadi sejak 1970-an dan mengalami akselerasi pada 1990-an. Pada masa itu, proses Islamisasi lebih bertujuan untuk memperkuat penguasa politik Orde Baru. Islam sebagai kekuatan kultural diberi ruang berkembang, tapi Islam sebagai kekuatan politik tetap dikontrol sedemikian rupa. Proses Islamisasi itu semakin menguat pada akhir kekuasaan Orde Baru dan terus terjadi setelah era reformasi. Proses Islamisasi itu terjadi baik pada regulasi, birokrasi, maupun pada level kehidupan masyarakat.
Hal yang menarik, terjadinya proses Islamisasi itu justru berbanding terbalik dengan partai Islam yang terus mengalami penyusutan dari satu pemilu ke pemilu. Jika pada Pemilu 1955 perolehan suara partai-partai Islam sekitar 45%, pada Pemilu 1999 dan 2004 sekitar 38% dan pada Pemilu 2009 tinggal sekitar 29%.
Mengapa itu terjadi? Salah satu alasannya adalah hilangnya pesona partai Islam yang hanya "menjual" Islam, tapi tidak menyentuh kebutuhan rakyat. Karena itu, simbol Islam dalam sejarah politik kepartaian di Indonesia tidak mampu menarik daya pikat pemilih.
Melemahnya partai politik Islam ternyata tidak berarti bahwa suasana damai berkembang dalam kehidupan masyarakat. Yang terjadi justru sebaliknya: berbagai konflik agama, beberapa di antaranya bersifat fisik, terjadi di mana-mana. Isu-isu konflik yang muncul bermacam-macam, dari persoalan kebebasan beragama dan berkeyakinan, tempat ibadah, aliran sesat, hingga persoalan moral dan pornografi.
Munculnya kelompok-kelompok vigilante yang seringkali melakukan kekerasan atas nama agama dan lemahnya penegakan hukum turut berperan atas munculnya konflik sosial dalam Islam. Keterbukaan media pun berperan menjadikan konflik-konflik itu seperti bola salju.
Tiga situasi tersebut menjadi poin pentingnya terbitnya buku ini. Dari sini terekam dinamika Islam Indonesia dalam menghadapi proses konsolidasi demokrasi. Bahan utama buku ini merupakan makalah-makalah riset yang dipresentasikan dalam simposium "Islam untuk Keadilan Sosial dan Keberlangsungannya: Perspektif Baru tentang Islamisme dan Pluralisme di Indonesia", yang digelar Center for Southeast Asian Studies (CSEAS), Kyoto University, Jepang, dan Center for Asia-Pacific Area Studies (CAPAS), Taiwan, pada September 2008 di Jepang.
Jika dilihat tema-tema bahasannya, buku ini bisa memberi pengetahuan yang cukup luas mengenai Indonesia sebagai negara demokrasi yang cukup sukses di Asia Tenggara, bahkan di dunia. Meski demikian, buku ini juga menunjukkan bahwa dalam cerita sukses itu terdapat sejumlah anomali yang bisa membahayakan proses demokratisasi bila tidak ditangani dengan baik.
Rumadi
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta
Editor: Ota Atsushi, Okamoto Masaaki, dan Ahmad Suaedy
Penerbit: The Wahid Institute-CEAS-CAPAS, Jakarta, Desember 2010, 466 halaman
Islam di Indonesia memang punya pesona tersendiri yang berbeda dari Islam di belahan dunia mana pun. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia tidak menjadi negara Islam. Dengan pergumulan yang panjang, Indonesia mampu mendamaikan antara keislaman dan keindonesiaan.
Meski Islam Indonesia punya pengalaman dalam pergumulan politik, wajah utama Islam Indonesia bukanlah wajah politik, melainkan lebih sebagai Islam kultural. Jika Islam politik lebih berkaitan dengan kekuasaan, struktural, dan simbolik, Islam kultural lebih menekankan pada budaya dan substansi. Hal inilah yang memungkinkan wajah Islam di Indonesia tampak lebih moderat dibandingkan dengan Islam di belahan dunia yang lain.
Selain itu, Islam Indonesia bukanlah Islam yang monolitik. Meski ada arus utama Islam, varian-varian gerakan Islam Indonesia sangat variatif, baik dari segi isu maupun model gerakannya. Nah, buku berjudul Islam in Contention ini menampilkan berbagai variasi isu dan gerakan Islam, terutama dengan munculnya kelompok-kelompok Islam baru.
Sebagaimana dikemukakan editornya dalam pendahuluan, setidaknya ada tiga hal penting yang menandai perkembangan Islam di Indonesia satu dasawarsa terakhir yang menjadi titik tolak buku ini. Pertama, terjadinya Islamisasi hampir dalam seluruh sektor kehidupan masyarakat; kedua, semakin melemahnya kekuatan Islam politik; dan ketiga, semakin intensifnya konflik sosial berbasis agama.
Proses Islamisasi sosial sebenarnya terjadi sejak 1970-an dan mengalami akselerasi pada 1990-an. Pada masa itu, proses Islamisasi lebih bertujuan untuk memperkuat penguasa politik Orde Baru. Islam sebagai kekuatan kultural diberi ruang berkembang, tapi Islam sebagai kekuatan politik tetap dikontrol sedemikian rupa. Proses Islamisasi itu semakin menguat pada akhir kekuasaan Orde Baru dan terus terjadi setelah era reformasi. Proses Islamisasi itu terjadi baik pada regulasi, birokrasi, maupun pada level kehidupan masyarakat.
Hal yang menarik, terjadinya proses Islamisasi itu justru berbanding terbalik dengan partai Islam yang terus mengalami penyusutan dari satu pemilu ke pemilu. Jika pada Pemilu 1955 perolehan suara partai-partai Islam sekitar 45%, pada Pemilu 1999 dan 2004 sekitar 38% dan pada Pemilu 2009 tinggal sekitar 29%.
Mengapa itu terjadi? Salah satu alasannya adalah hilangnya pesona partai Islam yang hanya "menjual" Islam, tapi tidak menyentuh kebutuhan rakyat. Karena itu, simbol Islam dalam sejarah politik kepartaian di Indonesia tidak mampu menarik daya pikat pemilih.
Melemahnya partai politik Islam ternyata tidak berarti bahwa suasana damai berkembang dalam kehidupan masyarakat. Yang terjadi justru sebaliknya: berbagai konflik agama, beberapa di antaranya bersifat fisik, terjadi di mana-mana. Isu-isu konflik yang muncul bermacam-macam, dari persoalan kebebasan beragama dan berkeyakinan, tempat ibadah, aliran sesat, hingga persoalan moral dan pornografi.
Munculnya kelompok-kelompok vigilante yang seringkali melakukan kekerasan atas nama agama dan lemahnya penegakan hukum turut berperan atas munculnya konflik sosial dalam Islam. Keterbukaan media pun berperan menjadikan konflik-konflik itu seperti bola salju.
Tiga situasi tersebut menjadi poin pentingnya terbitnya buku ini. Dari sini terekam dinamika Islam Indonesia dalam menghadapi proses konsolidasi demokrasi. Bahan utama buku ini merupakan makalah-makalah riset yang dipresentasikan dalam simposium "Islam untuk Keadilan Sosial dan Keberlangsungannya: Perspektif Baru tentang Islamisme dan Pluralisme di Indonesia", yang digelar Center for Southeast Asian Studies (CSEAS), Kyoto University, Jepang, dan Center for Asia-Pacific Area Studies (CAPAS), Taiwan, pada September 2008 di Jepang.
Jika dilihat tema-tema bahasannya, buku ini bisa memberi pengetahuan yang cukup luas mengenai Indonesia sebagai negara demokrasi yang cukup sukses di Asia Tenggara, bahkan di dunia. Meski demikian, buku ini juga menunjukkan bahwa dalam cerita sukses itu terdapat sejumlah anomali yang bisa membahayakan proses demokratisasi bila tidak ditangani dengan baik.
Rumadi
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta