Fiqih Shalat Berjama'ah
Fiqih Shalat Berjama'ah
Penulis: Dr. Shalih bin Ghanim As-Sadlan
Penerbit: Pustaka As-Sunnah, Jakarta, 2011, 266 halaman
Adakah yang membedakan antara mukmin dan non-mukmin? Yang membedakannya adalah salat. Ya, salat adalah pembeda di antara keduanya, bahkan antara mukmin dan munafik. Orang-orang non-mukmin tidak menunaikan salat, sedangkan orang-orang munafik melaksanakan salat dengan sangat berat, apalagi jika waktu subuh.
Adalah Shalih bin Ghanim As-Sadlan, seorang ulama asal Arab Saudi, yang berkesempatan keliling negeri-negeri muslim untuk berdakwah. Dalam lawatan dakwahnya itu, ia melihat beragam pendapat kaum muslim dalam merespons kewajiban salat. Ada yang berpendapat bahwa salat wajib (lima waktu dalam sehari) adalah kewajiban individual, dan karena itu bisa dilaksanakan secara sendiri-sendiri di mana saja. Ada yang punya pendapat bahwa salat wajib berjamaah, tapi tidak harus di masjid. Pendapat ketiga menyatakan bahwa salat wajib itu, untuk lelaki, hukumnya wajib berjamaah di masjid.
Dengan pendekatan fikih, Shalih menghimpun berbagai pendekatan tersebut dan akhirnya membuat kesimpulan tentang wajibnya salat wajib berjamaah. Pertanyaannya, salat berjamaah itu di masjid atau di luar masjid?
Pendapat pertama, yang diwakili Imam Malik, Imam Syafi'i, dan mazhab Hanafiah, membolehkan salat berjamaah di luar masjid. Pendapat kedua, yang diwakili Imam Ahmad dan diikuti Imam Ibnul Qoyyim al-Jauziyah, salat wajib berjamaah dilakukan di masjid, kecuali ada uzur. Sedangkan pendapat ketiga adalah membedakan antara orang yang mendengar azan (dari masjid, musala, atau surau) dan orang yang tidak mendengar suara azan. Jika mendengar suara azan, hukumnya wajib salat berjamaah di masjid. Jika tidak mendengar azan, salat berjamaah boleh dilakukan di luar masjid.
Lalu, bagaimana dengan kaum perempuan? Mereka tidak punya kewajiban melaksanakan salat berjamaah di masjid. Tapi tidak boleh juga melarang mereka pergi ke masjid, asal tidak memakai wewangian dan pakaian yang berlebihan serta menyebabkan fitnah. "Janganlah kalian melarang kaum perempuan mendatangi masjid. Meskipun sebenarnya tetap di rumah lebih baik bagi mereka" (H.R. Abu Dawud).
Dalam Islam, salat berjamaah punya dimensi sosial yang substantif. Salat berjamaah menjadi sarana yang ampuh untuk melebur perbedaan status sosial, rasisme, kebangsaan, dan nasionalisme. Lihatlah, dua rakaat salat subuh atau empat rakaat salat lohor seakan tidak berbeda jika dilakukan dengan berjamaah. Tapi, dibandingkan dengan salat sendiri, salat berjamaah berpahala 25 atau 27 kali lipat.
Selain pahalanya berlipat, salat berjamaah juga menjadi media pemersatu sekaligus mengesampingkan individualisme. Salat berjamaah di masjid mendorong umat manusia untuk keluar dari kesendiriannya, bergabung dengan umat lain, dan berbaur dengan masyarakat di sekitarnya.
Walhasil, dengan menunaikan salat wajib berjamaah di masjid, akan tumbuh persatuan, cinta kasih, persaudaraan, dan saling membantu antarjamaah. Dalam komunitas berjamaah akan terbentuk interaksi saling menghormati antarsesama. Yang muda menghormati yang tua, yang tua memberi teladan kepada yang muda. Yang miskin disantuni, yang alim ditanya, dan yang bodoh mendapat bimbingan.
Kalau sudah begitu keadaannya, maka merekalah para pemakmur masjid. Mereka beriman kepada Allah SWT, percaya kepada hari akhir, mendirikan salat, mengeluarkan zakat, dan tidak ada yang ditakuti kecuali Allah SWT semata. Merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk (Q.S. At-Taubah: 18).
Ya, dengan bingkai tauhid, mereka akan mendapat petunjuk dan keberkahan dalam menjalani hidup di dunia yang fana ini.
Herry Mohammad
Penulis: Dr. Shalih bin Ghanim As-Sadlan
Penerbit: Pustaka As-Sunnah, Jakarta, 2011, 266 halaman
Adakah yang membedakan antara mukmin dan non-mukmin? Yang membedakannya adalah salat. Ya, salat adalah pembeda di antara keduanya, bahkan antara mukmin dan munafik. Orang-orang non-mukmin tidak menunaikan salat, sedangkan orang-orang munafik melaksanakan salat dengan sangat berat, apalagi jika waktu subuh.
Adalah Shalih bin Ghanim As-Sadlan, seorang ulama asal Arab Saudi, yang berkesempatan keliling negeri-negeri muslim untuk berdakwah. Dalam lawatan dakwahnya itu, ia melihat beragam pendapat kaum muslim dalam merespons kewajiban salat. Ada yang berpendapat bahwa salat wajib (lima waktu dalam sehari) adalah kewajiban individual, dan karena itu bisa dilaksanakan secara sendiri-sendiri di mana saja. Ada yang punya pendapat bahwa salat wajib berjamaah, tapi tidak harus di masjid. Pendapat ketiga menyatakan bahwa salat wajib itu, untuk lelaki, hukumnya wajib berjamaah di masjid.
Dengan pendekatan fikih, Shalih menghimpun berbagai pendekatan tersebut dan akhirnya membuat kesimpulan tentang wajibnya salat wajib berjamaah. Pertanyaannya, salat berjamaah itu di masjid atau di luar masjid?
Pendapat pertama, yang diwakili Imam Malik, Imam Syafi'i, dan mazhab Hanafiah, membolehkan salat berjamaah di luar masjid. Pendapat kedua, yang diwakili Imam Ahmad dan diikuti Imam Ibnul Qoyyim al-Jauziyah, salat wajib berjamaah dilakukan di masjid, kecuali ada uzur. Sedangkan pendapat ketiga adalah membedakan antara orang yang mendengar azan (dari masjid, musala, atau surau) dan orang yang tidak mendengar suara azan. Jika mendengar suara azan, hukumnya wajib salat berjamaah di masjid. Jika tidak mendengar azan, salat berjamaah boleh dilakukan di luar masjid.
Lalu, bagaimana dengan kaum perempuan? Mereka tidak punya kewajiban melaksanakan salat berjamaah di masjid. Tapi tidak boleh juga melarang mereka pergi ke masjid, asal tidak memakai wewangian dan pakaian yang berlebihan serta menyebabkan fitnah. "Janganlah kalian melarang kaum perempuan mendatangi masjid. Meskipun sebenarnya tetap di rumah lebih baik bagi mereka" (H.R. Abu Dawud).
Dalam Islam, salat berjamaah punya dimensi sosial yang substantif. Salat berjamaah menjadi sarana yang ampuh untuk melebur perbedaan status sosial, rasisme, kebangsaan, dan nasionalisme. Lihatlah, dua rakaat salat subuh atau empat rakaat salat lohor seakan tidak berbeda jika dilakukan dengan berjamaah. Tapi, dibandingkan dengan salat sendiri, salat berjamaah berpahala 25 atau 27 kali lipat.
Selain pahalanya berlipat, salat berjamaah juga menjadi media pemersatu sekaligus mengesampingkan individualisme. Salat berjamaah di masjid mendorong umat manusia untuk keluar dari kesendiriannya, bergabung dengan umat lain, dan berbaur dengan masyarakat di sekitarnya.
Walhasil, dengan menunaikan salat wajib berjamaah di masjid, akan tumbuh persatuan, cinta kasih, persaudaraan, dan saling membantu antarjamaah. Dalam komunitas berjamaah akan terbentuk interaksi saling menghormati antarsesama. Yang muda menghormati yang tua, yang tua memberi teladan kepada yang muda. Yang miskin disantuni, yang alim ditanya, dan yang bodoh mendapat bimbingan.
Kalau sudah begitu keadaannya, maka merekalah para pemakmur masjid. Mereka beriman kepada Allah SWT, percaya kepada hari akhir, mendirikan salat, mengeluarkan zakat, dan tidak ada yang ditakuti kecuali Allah SWT semata. Merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk (Q.S. At-Taubah: 18).
Ya, dengan bingkai tauhid, mereka akan mendapat petunjuk dan keberkahan dalam menjalani hidup di dunia yang fana ini.
Herry Mohammad