Cintaku Lewat Kripik Blado
Cintaku Lewat Kripik Blado
Penulis: Linda Djalil
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Juni 2011, xii + 244 halaman
Renyah, liat, gurih, manis, dan pedas. Dalam keripik balado, satuan kata sifat yang tidak bisa dibilang akur itu membentuk sebuah koloni dengan identitas rasa baru di lidah: maknyus. Linda Djalil, 53 tahun, meminjam prinsip keragaman rasa penganan khas Minangkabau itu dalam upayanya merangkai ragam cerita dalam buku Kumpulan Puisi Jurnalistik: Cintaku Lewat Kripik Blado.
Di tengah ketegangan yang kian cair antara puisi dan prosa, Linda menyebut buku ini sebagai kumpulan puisi. Sementara itu, embel-embel jurnalistik disematkan. Selain untuk menandai latar belakangnya sebagai mantan wartawan (Tempo dan Gatra), juga untuk mengidentifikasi semangat editorial dalam karya-karyanya.
Banyak catatan atas berbagai peristiwa Linda tuangkan ke dalam puisi. Dari yang bertema domestik seperti pembantu rumah tangga yang doyan main telepon genggam ("Aduh..., Pembantuku Selalu Main Hp...!!"), nasib pemain band, tembak-menembak antarpreman di Jalan Ampera, masalah banjir, isu pendidikan (yang ia tulis pada 2 Mei 2010), Mbah Maridjan, SBY, hingga ke wilayah-wilayah personal seperti kerinduan, kenangan, cinta, keripik balado, duka, dan pemujaan.
Sebagai mantan wartawan yang beralih "kerjaan" menjadi penyair, Linda lumayan produktif. Sebanyak 101 puisi yang disusun secara alfabetis dalam buku ini digubahnya sepanjang tahun 2009-2011. Sebagian besar dibuat pada 2010. Tapi tentu bukan karena produktivitasnya yang tinggi itu puisi "Tanah Coklat" dibuat sebelum waktunya (dalam buku, keterangan waktu pembuatan puisi ini tertulis 13 September 2011). Kelalaian cetak atau ada alasan lain yang lebih personal?
Lantas, bagaimana rasa puisi-puisi Kripik Blado olahan Linda? Pada sampul belakang buku ini, penyair Taufiq Ismail berkomentar bahwa puisi Linda Djalil sudah jelas sosoknya, tapi perlu dipahat dan diampelas lebih lama. Sedangkan dramawan dan penyair Putu Wijaya pada bagian akhir prolog yang ditulisnya untuk buku ini mengibaratkan puisi Linda sedang mengalir dan masih bisa berubah. "Itu akan jelas nanti di bukunya yang berikut...," tulis Putu.
Bambang Sulistiyo
Penulis: Linda Djalil
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Juni 2011, xii + 244 halaman
Renyah, liat, gurih, manis, dan pedas. Dalam keripik balado, satuan kata sifat yang tidak bisa dibilang akur itu membentuk sebuah koloni dengan identitas rasa baru di lidah: maknyus. Linda Djalil, 53 tahun, meminjam prinsip keragaman rasa penganan khas Minangkabau itu dalam upayanya merangkai ragam cerita dalam buku Kumpulan Puisi Jurnalistik: Cintaku Lewat Kripik Blado.
Di tengah ketegangan yang kian cair antara puisi dan prosa, Linda menyebut buku ini sebagai kumpulan puisi. Sementara itu, embel-embel jurnalistik disematkan. Selain untuk menandai latar belakangnya sebagai mantan wartawan (Tempo dan Gatra), juga untuk mengidentifikasi semangat editorial dalam karya-karyanya.
Banyak catatan atas berbagai peristiwa Linda tuangkan ke dalam puisi. Dari yang bertema domestik seperti pembantu rumah tangga yang doyan main telepon genggam ("Aduh..., Pembantuku Selalu Main Hp...!!"), nasib pemain band, tembak-menembak antarpreman di Jalan Ampera, masalah banjir, isu pendidikan (yang ia tulis pada 2 Mei 2010), Mbah Maridjan, SBY, hingga ke wilayah-wilayah personal seperti kerinduan, kenangan, cinta, keripik balado, duka, dan pemujaan.
Sebagai mantan wartawan yang beralih "kerjaan" menjadi penyair, Linda lumayan produktif. Sebanyak 101 puisi yang disusun secara alfabetis dalam buku ini digubahnya sepanjang tahun 2009-2011. Sebagian besar dibuat pada 2010. Tapi tentu bukan karena produktivitasnya yang tinggi itu puisi "Tanah Coklat" dibuat sebelum waktunya (dalam buku, keterangan waktu pembuatan puisi ini tertulis 13 September 2011). Kelalaian cetak atau ada alasan lain yang lebih personal?
Lantas, bagaimana rasa puisi-puisi Kripik Blado olahan Linda? Pada sampul belakang buku ini, penyair Taufiq Ismail berkomentar bahwa puisi Linda Djalil sudah jelas sosoknya, tapi perlu dipahat dan diampelas lebih lama. Sedangkan dramawan dan penyair Putu Wijaya pada bagian akhir prolog yang ditulisnya untuk buku ini mengibaratkan puisi Linda sedang mengalir dan masih bisa berubah. "Itu akan jelas nanti di bukunya yang berikut...," tulis Putu.
Bambang Sulistiyo