Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

An Islam of Her Own: Reconsidering Religion and Secularism in Women's Islamic Movement

An Islam of Her Own: Reconsidering Religion and Secularism in Women's Islamic Movement
Penulis: Sherine Hafez
Penerbit: New York University Press, New York, April 2011, 208 halaman

Dikotomi "religius dan sekuler" menjadi satu master narrative yang telanjur beku dan kaku dalam berbagai studi ilmu sosial dan humaniora. Dikotomi itu mengasumsikan, jika seseorang menjadi religius, tidak mungkin dalam waktu yang bersamaan menjadi sekuler. Dalam hal ini, seolah ada satu demarkasi yang sangat ketat antara wilayah agama dan sekuler atau non-agama.

Namun, dalam persoalan formasi identitas, ketika yang religius dan sekuler lumer dalam satu proses kemenjadian terus-menerus, juga dalam silang sengkarut internalisasi dan eksternalisasi subjektivitas, dikotomi itu menjadi sangat problematis. Identitas, bagaimanapun ia dilekatkan, tidak pernah stabil, tunggal, dan ajek, melainkan bisa sangat kompleks, banyak, dan tidak pernah stabil. Masalah itulah yang ditangkap Sherine Hafez dalam buku ini.

Ia melihat keganjilan pada wacana agama-sekuler sebagai bagian dari konstruksi Barat yang memisahkan antara wilayah privat dan publik yang di-anggit untuk melihat fenomena dalam masyarakat non-Barat. Asisten profesor di Universitas California Riverside itu berusaha menantang asumsi tersebut melalui penelitian etnografis yang ia lakukan di Kairo, Mesir.

Al-Hilal, organisasi volunter swasta yang diorganisasi para muslimah yang ia sebut sebagai solehah (pious) menjadi subjek studi kasusnya tentang betapa formasi identitas keagamaan dan wacana modernitas yang mewarnai corak gerakan ini sangat kompleks dan rumit. Di sini, Hafez menemukan sebentuk aktivisme para muslimah yang berusaha memformasi identitas dirinya dengan Islam, sekaligus rona aktivisme itu tumpang tindih dengan semangat modernitas, yaitu kemajuan.

Dalam pergerakannya, para muslimah itu sangat percaya pada kemajuan yang harus dicapai masyarakat muslim, salah satunya melalui pendidikan. Mereka banyak melakukan kerja volunteristik dengan cara pemberdayaan masyarakat yang mereka jadikan sebagai wilayah binaan. Tak jarang mereka terjun langsung ke pelosok daerah yang jauh tertinggal dari segi pendidikan.

Mereka memberikan pendidikan gratis, memberikan pelajaran keahlian, memberikan pengobatan gratis, yang semuanya tidak melibatkan negara. Di samping aktivisme mereka, persoalan identitas keislaman juga sangat mencolok. Dalam hal ini, yang paling ketara adalah pemakaian hijab dan pemahaman mereka tentang Islam sebagai cara hidup (the way of life) yang melampaui semuanya.

Fenomena aktivisme muslimah itu menantang asumsi dari banyak perdebatan akademis tentang posisi mereka dalam studi feminisme yang lebih luas. Di sini pula feminisme yang sering mengandaikan pembebasan perempuan juga berarti mampu melepaskan diri dari kungkungan dogma agama, khususnya Islam yang masih dipandang sebagai representasi kepentingan laki-laki. Maka dapat diartikan bahwa seorang muslimah dengan atribut keislamannya tidak akan mampu menempati ruang feminisme.

Namun, sekali lagi, Hafez mendekonstruksi batasan-batasan yang telanjur mengakar ini lewat asumsinya tentang formasi identitas yang berwajah jamak, selalu dalam proses menjadi, hingga sering rumit dan tak tersekat. Studi feminisme kerap masih terkungkung dalam orientasi masyarakat liberal, sehingga tidak mampu mengadopsi wajah lain feminisme, yaitu model feminisme masyarakat non-liberal.

Penelitian yang dilakukan Hafez ini memberikan satu sumbangan bagi studi tentang gerakan perempuan, khususnya dalam kaitannya dengan Islam sebagai semangat gerakan. Ia berupaya menghindari studi normatif tentang gerakan perempuan muslimah dengan melampaui dikotomi-dikotomi, seperti agama-sekulerisme dan privat-publik. Di luar alasan akademis dalam melakukan penelitian ini, Hafez punya alasan lain: Mesir menjadi bagian sejarah masa kecilnya.

Dalam konteks Indonesia, agaknya belum banyak studi tentang gerakan perempuan muslimah. Hal ini agak disayangkan, selain karena republik ini menjadi negara dengan mayoritas penduduk muslim, di sisi lain proses demokratisasi yang telah berjalan 13 tahun pasca-reformasi juga belum banyak memunculkan penelitian yang komprehensif tentang kaitannya dengan gerakan perempuan muslimah.

Angga Yudhiyansyah
Mahasiswa Center for Religious and Cross Cultural Studies UGM dan penggiat Relief (Religious Issues Forum), Yogyakarta