Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

50 Indonesia Architects + Emergings

50 Indonesia Architects + Emergings
Penyusun: Imelda Akmal Architectural Writer
Penerbit: Imaji Media Pustaka, Jakarta, 2010, 290 halaman

Kalau penyair punya licentia poetica, maka para arsitek mungkin memiliki apa yang disebut sebagai licentia architectura. Penggalan pernyataan itu diungkapkan Yuswaldi Saliya, guru besar arsitektur Institut Teknologi Bandung, di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, dua pekan lalu, ketika memberi sambutan dalam peluncuran buku 50 Indonesian Architects + Emergings, karya Imelda Akmal.

Licentia poetica memberi "hak" bagi para penyair untuk memberlakukan hukum-hukum dan aturan personal mereka dalam hal bahasa. Dengan itu, penyair menafsir keindahan berdasarkan rasa maupun bias personal mereka. Dengan menabalkan "hak" licentia architectura, Yuswaldi mengemukakan pandangannya bahwa kadang para arsitek juga memiliki kecenderungan menafsir keindahan arsitektural berdasarkan bias personal mereka.

Kecenderungan itu, kata Yuswaldi, tak hanya hidup di kalangan para arsitek yang bergelut memantapkan diri merancang bangun gedung, hunian, dan instalasi, melainkan juga hadir di kalangan arsitek dalam garis profesi lain, seperti para penulis arsitektur. Yuswaldi pun menunjuk pada buku 50 Indonesian Architects + Emergings sebagai bukti hidupnya licentia architectura itu.

Dalam jagat penulisan arsitektur, Imelda Akmal bukanlah sosok baru. Melalui studio penulisannya, Imelda Akmal Architectural Writer (IAAW), arsitek lulusan Australia ini telah bertahun malang melintang. Setelah memulai karier dengan menulis buku mengenai arsitektur hunian bergaya populer, Imelda belakangan mulai menulis buku introduksi yang lebih serius tentang dunia arsitektur Indonesia.

Sebelum menulis buku ini, Imelda telah menyusun buku Indonesian Architecture Now 1 dan Indonesian Architecture Now 2. Keduanya adalah buku dwibahasa (Indonesia-Inggris) yang menghimpun karya terkini arsitek-arsitek terkemuka Indonesia.

Sebagaimana judulnya, 50 Indonesian Architects + Emergings memuat 50 arsitek Indonesia masa kini yang dipandang penting oleh Imelda, plus 13 arsitek muda yang ia kategorikan sebagai emerging architects. Kerja penyeleksian Imelda ini tentu patut dihargai, sebab mencatat arsitek Indonesia dengan karya yang penting dan menarik bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi kemudian menyarikannya dengan hanya memuat 50 +13 di antara mereka.

Hasilnya, dalam buku ini, Imelda bisa mengumpulkan arsitek dengan latar belakang dan karya yang sangat beragam. Mulai Adi Purnomo yang sangat senior hingga Tan Tik Lam yang merupakan generasi kedua dari keluarga arsitek ternama Tan Tjiang Ay. Imelda juga meletakkan Karolina Astaman, arsitek dari Biro Arsitek Bauer+Astaman di Singapura dan Shanghai yang terbiasa melayani klien raksasa di mancanegara dalam kategori yang sama dengan Yu Sing, asitek unik dari Bandung yang punya idealisme melampaui batas dunia arsitektur dengan konsep rumah murah dan rumah sosialnya.

Yori Antar, pendiri forum Arsitek Muda Indonesia, yang juga memberi sambutan dalam peluncuran buku ini, menyebut buku ini sangat penting dan menarik. "Meski harus diakui, buku ini belum mencengangkan," katanya.

Kenyataannya, strategi penyusunan buku ini masih meninggalkan beberapa pertanyaan membingungkan. Misalnya, mengapa ada arsitek yang dimasukkan sebagai biro arsitek, sedangkan nama lain disebut sebagai pribadi? Mengapa pada sebagian arsitek, karya yang dimuat dalam buku ini adalah karya yang telah terbangun, sedangkan pada arsitek lain, yang termuat justru karya yang baru sampai tahap konsep?

Ada satu lagi pertanyaan menggelitik: mengapa sebagai kurator dan penyusun buku ini, Imelda mencantumkan namanya sendiri dalam daftar 50 arsitek? Sebagai arsitek, Imelda lebih banyak berkecimpung dalam kerja kepenulisan bidang arsitek dan desain interior. Bersama IAAW, Imelda telah menerbitkan 50 buku interior dan tiga buku arsitek, termasuk buku ini. Sedangkan karya arsitekturalnya hanya satu. Lantas, bagaimana cara Imelda menetapkan kompetensinya sendiri; karena kerja kepenulisannya atau berdasarkan karya arsitekturalnya yang hanya satu itu?

Namun pertanyaan-pertanyaan itu dan kelemahan dalam strategi penyusunannya tidak lantas membuat buku ini kehilangan kepentingan dan daya tariknya. Model pencatatan dan pemaparan data dalam buku ini, sesingkat apa pun, adalah tawaran menarik untuk menanggapi perubahan dan memeriksa perkembangan dalam khazanah arsitektur di Indonesia.

Bambang Sulistiyo