Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Misykat; Refleksi Tentang Islam, Westernisasi & Liberalisasi

Misykat; Refleksi Tentang Islam, Westernisasi & Liberalisasi
Penulis: Hamid Fahmy Zarkasyi
Penerbit: INSISTS, Jakarta, 2012, xxvi + 230 halaman
Stok kosong

Pada dasarnya, Islam tidak mengenal istilah radikal, liberal, maupun moderat. Tapi, dalam perkembangannya, manusia membaginya dengan beragam istilah untuk menunjukkan sebuah aliran pemikiran, sikap, atau perilaku sebuah komunitas. Dalam kajian sosiologis, hal itu sah-sah saja sejauh bisa menjelaskan sebuah fenomena atau kecenderungan tertentu.

Dari banyak istilah yang ditempelkan pada umat Islam itu, jika diperas, akan menjadi tiga besar: radikal, liberal, dan moderat. Radikal biasanya dipahami sebagai kelompok yang mendahulukan teks, sedangkan liberal mengedepankan konteks. Adapun moderat memadukan teks dan konteks serta berusaha menjaga keseimbangan di antara keduanya.

Mengedepankan teks tanpa mau melihat realitas sosial (untuk urusan-urusan yang masih memerlukan penjelasan lebih lanjut) akan menimbulkan guncangan sosial; sedangkan mengedepankan konteks tanpa mau melirik teks justru akan merusak tatanan sosial masyarakat Islami. Jika kelompok radikal melahirkan sikap ekstrem dalam menerjemahkan ayat-ayat suci Al-Quran, kaum liberal justru membuka ruang kebebasan yang salah kaprah.

Contohnya, kaum liberal menganggap homoseks dan lesbian adalah suatu karunia Tuhan dan tidak boleh dicegah karena melanggar hak asasi manusia. Karena itu, pembela paling gigih dari kaum homoseks dan lesbian adalah kelompok liberal ini. Padahal, perilaku homoseks dan lesbian jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam.

Oleh sebab itu, agar ada keseimbangan dalam menjalankan ajaran-ajaran agama Islam, diperlukan perpaduan antara teks dan konteks. Kelompok ini mampu beradaptasi dan mau mengapresiasi berbagai pandangan sejauh masih dalam koridor yang dibenarkan secara syar'i.

Dalam konteks inilah, karya Hamid Fahmy Zarkasyi ''berbicara''. Buku ini merupakan respons atas berbagai persoalan keumatan yang terus saja menggulir di hadapan umat sepanjang massa. Pada 27 Januari 2010, AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) mengajukan usulan ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar Peraturan Presiden Nomor 1/PNPS/1965, yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Larangan Penistaan Agama, dicabut.

Hamid pun meresponsnya, ''Jika ini dicabut, berarti agama-agama baru dapat muncul, penghinaan terhadap agama tidak ada hukum dan aturannya lagi. Apakah benar kebebasan sudah tidak perlu diatur lagi dalam undang-undang? Apakah manusia zaman sekarang sudah dewasa dan dijamin tidak akan menista agama lagi (halaman 219).

Kelompok AKKBB itu dimotori kaum liberal yang, antara lain, membela keberadaan komunitas Ahmadiyah. Dasarnya adalah hak-hak asasi manusia yang bebas beragama dan berkeyakinan. Tapi, bagi mayoritas muslim dunia, ajaran Ahmadiyah justru menistakan agama Islam. Inilah persoalannya. Jika saja Ahmadiyah tidak menggunakan nama Islam, persoalannya selesai. Di Pakistan, misalnya, Ahmadiyah masuk kelompok minoritas nonmuslim, Semua atribut keislaman tidak boleh digunakan komunitas ini. Sebagai minoritas nonmuslim, hak-haknya diatur undang-undang.

Buku bertitel Misykat (cahaya) ini bisa menjadi pijakan bagi siapa saja yang hendak mengetahui dan memahami berbagai aliran pemikiran Islam di dunia. Hamid dengan piawai berselancar dari khazanah Islam klasik sampai kontemporer dan membongkar peradaban Barat sampai akar-akar filosofisnya. Karya ini akan merangsang kita untuk memperbincangkannya lebih lanjut.

Herry Mohammad