Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Living Islamically In The Periphery

Living Islamically In The Periphery
Penulis: Iik Arifin Mansurnoor
Penerbit: UIN Jakarta Press, Jakarta, 2011, xxii + 450 halaman

Integrasi Islam ke dalam masyarakat dan negara menjadi topik menarik yang tak henti-hentinya diperbincangkan. Setiap negeri dan pelosok wilayah di dunia Islam punya cerita sendiri yang berbeda dan unik, terutama karena perbedaan karakteristik masyarakatnya. Juga karena latar sejarah yang berbeda.

Untuk sebuah bangsa yang sangat majemuk, integrasi itu berjalan sangat alot dan butuh waktu yang panjang. Demikian pula buat negeri yang masyarakatnya sedari awal telah mengenal pemisahan agama dari negara. Malah adakalanya upaya pengintegrasian itu membuahkan konflik berdarah. Dan, tidak dinafikan pula, Islam di banyak tempat melebur secara intensif ke dalam masyarakat dan negara dengan damai, tanpa masalah.

Brunei Darussalam merupakan satu contoh menarik yang dipaparkan Iik Arifin Mansurnoor lewat karyanya ini. Boleh dibilang, integrasi agama dalam kehidupan masyarakat dan negara berbentuk monarki itu hampir tidak menimbulkan konflik sama sekali. Padahal, masyarakat di negeri jiran itu juga mengalami banyak perubahan dalam administrasi pemerintahan dan kehidupan beragama.

Berbeda dibandingkan dengan Indonesia, misalnya. Pembentukan masyarakat dan negara di sana sejak awal memang diwarnai pengaruh kuat agama Islam. Identitas Brunei sebagai negara Islam dimulai sejak awal abad ke-14. Ditandai dengan masuk Islamnya Awang Alak Betatar, pemimpin lokal, yang kemudian menjadi sultan pertama Brunei.

Sejak itu dan hingga kini, Islam dipandang memainkan peran sangat sentral dalam sejarah Kesultanan Brunei. Islam kemudian ditetapkan sebagai agama resmi kesultanan dan syariat Islam diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Posisi sultan, selain menjadi kepala negara, juga sebagai kepala agama. Sultan pun berperan besar dalam integrasi Islam dengan masyarakat, dengan tetap mengakui dan menghormati eksistensi agama-agama lain yang dianut masyarakat minoritas.

Lebih dari itu, masjid, surau, atau balai sejak berabad-abad diakui bukan saja sebagai tempat ibadah, melainkan juga sebagai pusat pendidikan. Pada masa silam, para "santri" memperdalam berbagai ilmu di pusat pendidikan macam ini. Bentuk pengajian yang mereka peroleh bukan hanya pendalaman fikih dan tafsir, melainkan juga ilmu astronomi dan tasawuf. Para sultan sendiri dahulu memperdalam ilmu Islam di tanah asalnya: Mekkah.

Riwayat perkembangan hubungan Islam dengan negara di Brunei ditandai pula dengan sejumlah upaya reformasi. Iik mencatat, percepatan dalam reformasi keagamaan berlangsung setelah Sultan Begawan naik tahta pada 1950. Banyak kelembagaan diformulasi dan disegarkan kembali. Salah satunya adalah pembentukan Dewan Syariah Islam, yang diikuti dengan pendirian Jabatan Hal Ehwal Ugama, Majelis Ugama Islam, dan transformasi pendidikan Islam dari surau ke lembaga persekolahan modern.

Yang tak kalah menarik kajiannya adalah peran para ulama. Fungsi sultan sebagai kepala agama tidak menafikan peran para ulama di sana. Para ulama Brunei lebih berfungsi sebagai juru dakwah dan kerja-kerja administratif keagamaan. Mereka menempati posisi di birokrasi keagamaan. Sayangnya, perhatian mereka terhadap penelitian dan investigasi ilmiah terhitung amat terbatas. Hanya sebagian kecil yang melahirkan karya-karya yang berguna sebagai pedoman dan referensi umat.

Dunia ulama di Brunei juga mengenal pergesekan, seiring dengan dinamika pendidikan yang berkembang di kalangan mereka. Sejumlah ulama muda yang terdidik lewat pendekatan baru yang lebih modern, misalnya, sempat membawa angin baru pada 1970-an. Walau demikian, kompetisi kaum "reformis" muda itu dengan kalangan tua tidak sampai pada tahap konflik. Hal itu, boleh jadi, berkat otoritas besar yang dipegang sultan sebagai kepala agama.

Selain mengkaji sejarah umara dan ulama di negerinya sendiri, Associate Profesor Program Kajian Sejarah University of Brunei Darussalam ini juga memaparkan hasil studinya di Madura. Dari penelusurannya, ia melihat sejumlah perbedaan fundamental di antara dua posisi itu. Bukan saja perbedaan dari segi trah, Iik juga merujuk pada perbedaan peran yang dimainkan dan kontinuitas keberadaannya di tengah masyarakat.

Iik mencatat, pada umumnya kalangan umara di sana selalu berasal dan dikaitkan dengan kalangan bangsawan. Ia melihat, para umara dengan beragam juluk --dari panembahan, sultan, hingga bupati-- umumnya memperoleh legitimasi lewat hubungannya dengan raja-raja dari Jawa, terutama Singasari dan Majapahit. Ada pula yang mengaitkannya dengan Kerajaan Mendangkemulan. Kepemimpinannya meliputi wilayah politik, militer, moral, hingga yang bersifat simbolik.

Di sisi lain, para ulama umumnya lahir dari tokoh lokal atau supralokal. Darah kebangsawanan, meski ada, tidak mendapat tempat yang cukup penting. Sebab legitimasi seorang ulama atau kiai di sana justru terletak pada kedalaman ilmu dan lewat lembaga religius yang diasuhnya. Adakalanya juga legitimasi diperoleh karena keterkaitan sang ulama dengan ahlulbait.

Lebih jauh, ia menyoroti bagaimana umara dan ulama masing-masing mempertahankan pengaruh dan kepemimpinannya. Di kalangan umara, tidak jarang terjadi perebutan kekuasaan, bahkan antarsaudara sekalipun. Sementara itu, kalangan ulama umumnya mempertahankan kekiaian lewat kesalehan, kedalaman pengetahuan, dan komitmennya. Walau mungkin ada persaingan "politik", tidak pernah terjadi perebutan kepemimpinan di kalangan ulama.

Namun tampaknya ada yang luput dari perhatian Iik dalam kajiannya tentang struktur masyarakat Islam Madura ini. Selain ulama dan umara, masih ada sosok lain yang diakui ketokohannya dan dijadikan panutan, yakni blater alias jawara. Padahal, blater punya tempat tersendiri pula di tengah masyarakat Madura. Seperti dicatat pakar budaya Madura, Abdul Latief Wiyata, ketiga sosok itu memiliki wilayah otoritas yang berbeda, tapi tetap saling melengkapi.

Apa pun, membaca buku ini setidaknya kita memperoleh gambaran menyeluruh tentang sejarah Islam di Brunei Darussalam. Tampak bahwa riwayat yang melatari Islam dan perkembangannya di negeri jiran itu amat berbeda dibandingkan dengan yang terjadi di Indonesia. Dari buku ini pula kita dapat memahami mengapa hubungan negara dan agama seperti tidak pernah menjadi masalah di sana.

Erwin Y. Salim