Kepemilikan Properti Bagi Asing
Kepemilikan Properti Bagi Asing
Penulis: Dr. H. Martin Roestamy, SH, M
Penerbit: Alumni, Bandung, Oktober 2011, xviii + 377 halaman
Terkisah, ada seorang pengusaha Arab membeli tunai properti di kawasan Mega Kuningan, Jakarta. Pengusaha itu sebetulnya hanya datang setahun dua kali. Tetapi, demi efektivitas dan investasi, ia memilih membeli apartemen ketimbang menyewa hotel.
Belakangan, ia kecewa karena tak bisa melekatkan namanya pada aset tersebut. Pangkalnya, apartemen itu dibangun di atas tanah bersertifikat hak guna bangunan (HGB). Walhasil, ia mempercayakan "kepemilikan" properti itu kepada seorang WNI selaku "nominee" (pemilik titipan). Celakanya, setahun kemudian, sang nominee meninggal dunia, sehingga aset tersebut menjadi biang silang sengketanya dengan ahli waris pemilik titipan itu.
Itulah sekelumit persoalan bagi warga asing untuk berinvestasi properti di negeri ini. Salah satu kendalanya adalah cara kita memandang Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA). Menurut penulis buku ini, UUPA menganut asas nasionalitas yang sangat kuat sebagai konsekuensi Pasal 33 (3) UUD 1945.
Sampai di sini, tentu tidak ada yang salah. Masalahnya, seluruh perundang-undangan yang terkait dengan harta yang tidak bergerak (immovable property) terikat dengan UUPA sebagai acuan dasarnya. Misalnya, UU tentang Rumah Susun, UU Bangunan dan Gedung, serta UU Hipotik dan Hak Tanggungan. Sehingga kepemilikan unit bertingkat seperti apartemen dan kondomonium pun wajib dilekatkan dengan alas dasar utamanya, yaitu tanah.
Sebagai konsekuensi asas nasionalitas itu, perlakuan terhadap warga negara asing (WNA) menjadi sangat ketat. Mereka hanya diperbolehkan melekatkan kepemilikan (ownership) atas bangunan di atas tanah hak pakai. Itu pun dengan sejumlah persyaratan yang sangat ketat. Perlu diketahui, kepemilikan atas tanah dibagi menjadi: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, dan hak memungut hasil hutan.
Akibatnya, bisnis properti di Indonesia menjadi tidak menarik bagi asing. Tanah dengan status sertifikat hak pakai tentu tidak banyak terdapat di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Belum lagi persyaratan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1996 sangat delicated. Pada PP itu disebutkan, antara lain, asing hanya berhak membeli satu unit rumah untuk masa waktu paling lama 25 tahun. PP itu dijabarkan lebih jauh dengan Peraturan Menteri (Permen) Agraria Nomor 7 Tahun 1996 yang sangat eksesif pula.
Penulis membandingkan kepemilikan apartemen itu dengan yang berlaku di beberapa negara, seperti Singapura atau Jepang. Singapura mengaturnya dalam The Residential Properti Act (1976) yang sangat aplikatif. Disebutkan, antara lain, pada bangunan yang terdiri dari enam lantai atau lebih, WNA dapat membelinya. Tentu kepemilikan atas tanah tidak diberikan. Warga asing diperbolehkan memiliki bangunan dengan jangka waktu yang panjang, 75 hingga 90 tahun.
Demikian pula, berdasarkan riset, Pemerintah Jepang mengaturnya dalam Law for Unit Ownership tahun 1962. Meskipun Jepang menggunakan asas pelekatan pemilikan, pendaftaran antara kepemilikan tanah dan bangunan dilakukan dengan jahitan terpisah, walaupun diurus oleh kantor yang sama: Homo Kyoku. Tak perlu izin bertele-tele, bahkan tak diperlukan kartu izin tinggal tetap untuk membeli apartemen yang bersifat kontan.
Lebih jauh, Jepang membagi kategori rumah dengan berbagai istilah: mansion, kondo, apartemen, dan lain-lain. Semua kategori memiliki perlakuan hukum yang berbeda, dengan tetap menjunjung asas kepemilikan tanah yang tak berpindah dari tangan pribumi Jepang. Cara seperti itu efektif menarik minat asing, sekaligus mempertahankan kepemilikan tanah pada warga.
Saya kira, tesis utama buku ini adalah upaya penulis untuk memisahkan konsep kepemilikan horizontal dengan kepemilikan vertikal.Kepemilikan horizontal wajib menganut asas nasionalitas, karena itu tertuang dalam UUD (Pasal 33) dan dimanifestasikan dalam UUPA. Sedangkan kepemilikan vertikal semestinya tidak mengenal asas nasionalitas yang kaku. Maka, jika kepemilikan horizontal diatur dalam rezim hukum tanah, kepemilikan vertikal wajib diatur dalam rezim sendiri: hukum properti. Terobosan inilah yang menjadi sumbangsih terbesar buku ini.
Inayatullah Hasyim
Dosen Fakultas Hukum Universitas Djuanda, Bogor, dan legal consultant pada Capital Investment Group
Penulis: Dr. H. Martin Roestamy, SH, M
Penerbit: Alumni, Bandung, Oktober 2011, xviii + 377 halaman
Terkisah, ada seorang pengusaha Arab membeli tunai properti di kawasan Mega Kuningan, Jakarta. Pengusaha itu sebetulnya hanya datang setahun dua kali. Tetapi, demi efektivitas dan investasi, ia memilih membeli apartemen ketimbang menyewa hotel.
Belakangan, ia kecewa karena tak bisa melekatkan namanya pada aset tersebut. Pangkalnya, apartemen itu dibangun di atas tanah bersertifikat hak guna bangunan (HGB). Walhasil, ia mempercayakan "kepemilikan" properti itu kepada seorang WNI selaku "nominee" (pemilik titipan). Celakanya, setahun kemudian, sang nominee meninggal dunia, sehingga aset tersebut menjadi biang silang sengketanya dengan ahli waris pemilik titipan itu.
Itulah sekelumit persoalan bagi warga asing untuk berinvestasi properti di negeri ini. Salah satu kendalanya adalah cara kita memandang Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA). Menurut penulis buku ini, UUPA menganut asas nasionalitas yang sangat kuat sebagai konsekuensi Pasal 33 (3) UUD 1945.
Sampai di sini, tentu tidak ada yang salah. Masalahnya, seluruh perundang-undangan yang terkait dengan harta yang tidak bergerak (immovable property) terikat dengan UUPA sebagai acuan dasarnya. Misalnya, UU tentang Rumah Susun, UU Bangunan dan Gedung, serta UU Hipotik dan Hak Tanggungan. Sehingga kepemilikan unit bertingkat seperti apartemen dan kondomonium pun wajib dilekatkan dengan alas dasar utamanya, yaitu tanah.
Sebagai konsekuensi asas nasionalitas itu, perlakuan terhadap warga negara asing (WNA) menjadi sangat ketat. Mereka hanya diperbolehkan melekatkan kepemilikan (ownership) atas bangunan di atas tanah hak pakai. Itu pun dengan sejumlah persyaratan yang sangat ketat. Perlu diketahui, kepemilikan atas tanah dibagi menjadi: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, dan hak memungut hasil hutan.
Akibatnya, bisnis properti di Indonesia menjadi tidak menarik bagi asing. Tanah dengan status sertifikat hak pakai tentu tidak banyak terdapat di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Belum lagi persyaratan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1996 sangat delicated. Pada PP itu disebutkan, antara lain, asing hanya berhak membeli satu unit rumah untuk masa waktu paling lama 25 tahun. PP itu dijabarkan lebih jauh dengan Peraturan Menteri (Permen) Agraria Nomor 7 Tahun 1996 yang sangat eksesif pula.
Penulis membandingkan kepemilikan apartemen itu dengan yang berlaku di beberapa negara, seperti Singapura atau Jepang. Singapura mengaturnya dalam The Residential Properti Act (1976) yang sangat aplikatif. Disebutkan, antara lain, pada bangunan yang terdiri dari enam lantai atau lebih, WNA dapat membelinya. Tentu kepemilikan atas tanah tidak diberikan. Warga asing diperbolehkan memiliki bangunan dengan jangka waktu yang panjang, 75 hingga 90 tahun.
Demikian pula, berdasarkan riset, Pemerintah Jepang mengaturnya dalam Law for Unit Ownership tahun 1962. Meskipun Jepang menggunakan asas pelekatan pemilikan, pendaftaran antara kepemilikan tanah dan bangunan dilakukan dengan jahitan terpisah, walaupun diurus oleh kantor yang sama: Homo Kyoku. Tak perlu izin bertele-tele, bahkan tak diperlukan kartu izin tinggal tetap untuk membeli apartemen yang bersifat kontan.
Lebih jauh, Jepang membagi kategori rumah dengan berbagai istilah: mansion, kondo, apartemen, dan lain-lain. Semua kategori memiliki perlakuan hukum yang berbeda, dengan tetap menjunjung asas kepemilikan tanah yang tak berpindah dari tangan pribumi Jepang. Cara seperti itu efektif menarik minat asing, sekaligus mempertahankan kepemilikan tanah pada warga.
Saya kira, tesis utama buku ini adalah upaya penulis untuk memisahkan konsep kepemilikan horizontal dengan kepemilikan vertikal.Kepemilikan horizontal wajib menganut asas nasionalitas, karena itu tertuang dalam UUD (Pasal 33) dan dimanifestasikan dalam UUPA. Sedangkan kepemilikan vertikal semestinya tidak mengenal asas nasionalitas yang kaku. Maka, jika kepemilikan horizontal diatur dalam rezim hukum tanah, kepemilikan vertikal wajib diatur dalam rezim sendiri: hukum properti. Terobosan inilah yang menjadi sumbangsih terbesar buku ini.
Inayatullah Hasyim
Dosen Fakultas Hukum Universitas Djuanda, Bogor, dan legal consultant pada Capital Investment Group