Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni Sampai Revolusi

Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni Sampai Revolusi
Penulis: Djoko Soekiman
Penerbit: Komunitas Bambu, Depok, 2011, x + 190 halaman

Abad ke-16 dipenuhi narasi invasi bangsa Eropa ke belahan dunia lainnya, seperti Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Seiring dengan penemuan teknologi dan "bayi" kapitalisme, modus yang dipakai pada mulanya adalah pencarian dunia baru yang memiliki sumber daya berlimpah.

Namun, pada perkembangannya, hal itu menemui resistensi dari masyarakat lokal yang berujung konflik bersenjata. Pasukan militer dikerahkan dan melahirkan perang-perang sebagai legitimasi kolonialisme-imperialisme. Selain lewat pengerahan militer, invasi suatu bangsa ke bangsa yang lain dapat melalui jalan yang halus: kebudayaan. Meski tetap saja terjadi kompromi dan negosiasi dalam prosesnya, "kolonialisme" kebudayaan terbukti ampuh dan dampaknya lebih awet ketimbang letupan mesiu.

Zaman modern (pasca-kolonialisme-imperialisme) menandai kiblat-kiblat kebudayaan dan pengetahuan, hingga lahir apa yang disebut acuan modernitas. Klasifikasi ini menimbulkan kelas-kelas bangsa dan kebudayaan; negara yang pernah dijajah mayoritas dianggap sebagai epigon kebudayaan dari negara yang pernah menjajah.

Rupanya ini bukan hadir kemarin sore, melainkan telah melewati beberapa generasi yang lampau, sejak nenek moyang kita belum mengerti benar apa itu Eropa dan Jawa yang sesungguhnya. Dalam konteks Indonesia, yang oleh Dennys Lombard ditahbiskan sebagai bangsa hasil silang budaya, masalahnya menjadi pelik. Identitas asli manusia Indonesia menjadi kabur dan absurd akibat persilangan budaya itu.

Era kolonialisme Hindia-Belanda menandai persilangan budaya antara dua bangsa yang berbeda corak. Rentang 350 tahun saat Belanda (kompeni) menginjakkan kaki di Nusantara, khususnya Jawa, menjadi kondisi paling subur untuk menyatunya dua kebudayaan itu. Sebuah penyatuan yang bukan hanya semata urusan fisik, melainkan juga mentalitas (osmose).

Salah satu wujud negosiasi budaya itu adalah orang Eropa mendiami "rumah" kebudayaan Jawa. Begitu juga sebaliknya. Nilai-nilai yang dikandung dua kebudayaan dengan corak berbeda tersebut hidup di masyarakat sebagai bagian yang integratif dan afirmatif. Agen-agen kebudayaan itu bergerak untuk merumuskan masyarakat dengan segala dinamika praksis kehidupannya.

Perangkat arsitektur menjadi penanda kasatmata yang bisa dilihat dari kebudayaan Indis. Selain itu, perabot rumah tangga dan pakaian juga menjadi sarana untuk memunculkan kebudayaan Indis. Dari sini, pertukaran itu menghasilkan tipologi kebudayaan baru yang merupakan hasil campuran.

Djoko Soekiman melakukan kajian mendalam tentang percampuran kebudayaan itu melalui berbagai entitas yang kompleks. Hasilnya, hampir dipastikan bahwa sebagian besar dimensi kehidupan masyarakat Jawa telah "terkontaminasi" oleh kebudayaan Belanda.

Kebudayaan Indis yang merupakan campuran kebudayaan Belanda-Jawa berkembang di kawasan-kawasan eksklusif, yakni tanah partikelir dan lingkungan yang mayoritas dihuni orang Belanda. Abad ke-20 menjadi tanda runtuhnya dua tempat itu dan kebudayaan Indis diterima luas oleh masyarakat. Pelaku kebudayaan Indis bukan lagi kaum elite Jawa sebagai bentuk runtuhnya borjuasi Jawa secara kultural.

Titik tolak terbentuknya kebudayaan Indis bermula pada abad ke-17. Ini sejatinya merupakan dampak kebijakan Pemerintah Belanda yang melarang pejabatnya membawa istri atau perempuan Belanda ke Hindia-Belanda. Pejabat Belanda lalu memperistri perempuan pribumi. Awalnya untuk memenuhi hasrat seksual yang tertunda, lalu meluas menjadi sejenis perkawinan kebudayaan.

Namun tidak semua orang Jawa kemudian menerima dan melakukan perkawinan kebudayaan. Hanya kaum elite Jawa yang mendapatkan akses ke sana. Potensi ekonomi dan sosio-politik yang dimiliki menjadi pintu masuk untuk melakukan identifikasi diri agar diakui setara dengan orang Eropa, sekaligus lebih tinggi dari penduduk pribumi.

Masa tiga abad (17-19) cukup bagi tumbuh kembang hibriditas kebudayaan Jawa. Sampai hari ini, kita masih merasakan dampak perkawinan kebudayaan itu dan kita seolah tak bisa mengelak. Betul bahwa untuk menjadikan suatu kebudayaan diterima masyarakat secara luas, cukup dipakai ikon atau tokoh publik untuk menyosialisasikannya. Masyarakat otomatis akan menjadi epigon dan plagiator kebudayaan asing tersebut.

Junaidi Abdul Munif
Peneliti el-Wahid Center, Universitas Wahid Hasyim, Semarang