Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ustad Seleb, Bisnis Moral dan Fatwa Online: Ragam Ekspresi Indonesia Kontemporer

Ustad Seleb, Bisnis Moral dan Fatwa Online: Ragam Ekspresi Indonesia Kontemporer
Editor: Greg Fealy dan Sally White
Penerbit: Komunitas Bambu, Jakarta, Februari 2012, xx+298 halaman

Alkisah, Islam Indonesia merupakan paras Islam yang heterogen, yang telah mendapat sentuhan pribumisasi dengan kultur lokal Indonesia. Penggambaran Islam yang telah mengalami pelembutan itu tampak, antara lain, pada buku Islam Observed (1971) karya antropolog Amerika, Clifford Geertz.

Di situ Geertz menyatakan, berbeda dengan Maroko, Islam Indonesia kurang puritan dan lebih heterogen. Islam Indonesia, terutama di Jawa, adalah Islam yang telah mendapat sentuhan budaya lokal. Ada proses pribumisasi yang membuat ajaran universal Islam itu berakulturasi dengan budaya Nusantara.

Tapi, itu dulu. Pasca-reformasi, ada perubahan pandangan tentang Islam Indonesia. Kini, Islam Indonesia sekilas tampak makin garang. Studi Islam Indonesia di luar negeri lebih berfokus pada kalangan garis keras, seolah-olah materi Islam Indonesia hanya bagian dari studi tentang terorisme dan keamanan negara. Tidak banyak karya kesarjanaan yang serius menyoroti potret besar Islam Indonesia pasca-reformasi.

Buku ini memotret perkembangan Islam Indonesia dari berbagai aspek selama satu dekade terakhir. Asumsi besarnya, Islam Indonesia memang telah banyak berubah dibandingkan dengan masa Orde Baru. Buku ini hendak memotret bagaimana orang Indonesia mengekspresikan Islam dalam kehidupan sehari-hari; sebuah fokus yang banyak luput dari pantauan akademisi dan wartawan. Padahal aspek ini lebih kompleks, tidak tunggal, dan tidak segawat yang tampak dalam hiruk-pikuk pemberitaan media.

Ada beberapa materi yang agak unik di sini. Misalnya ulasan panjang Robin Bush tentang sejumlah peraturan daerah (perda) bernuansa keagamaan atau yang sering disederhanakan menjadi perda syariah. Menurut Bush, fenomena itu kini telah melewati masa puncaknya. Dalam lima tahun terakhir, tidak ada lagi inovasi dan produksi baru perda syariah. Masa euforia dan pubertas keberagamaan yang simbolistik-legalistik mungkin telah berlalu. Rakyat Indonesia boleh jadi telah makin tercerahkan.

Di banyak tempat, pembuatan perda syariah memang didorong kepentingan politik, upaya menutupi korupsi, dan performa pemerintahan yang buruk. Bagi Bush, memang jauh lebih mudah membuat aturan yang melarang perempuan keluar rumah tanpa mahram di malam hari ketimbang ruwetnya mengatasi persoalan sosial-ekonomi yang menyebabkan munculnya aktivitas pelacuran (halaman 9).

Ulasan tentang evolusi premanisme di Indonesia, dari premanisme bela negara menjadi premanisme bela syariah, sangat informatif dan memperkaya perspektif. Di sini, Ian Douglas Wilson mengulas bagaimana Front Betawi Rempug (FBR) dan Front Pembela Islam (FPI) berevolusi. Tesis intinya, industri kekerasan negara kini telah mengalami swastanisasi. Kini, premanisme anti-maksiat tampak lebih menggiurkan daripada premanisme bermotif sekular saja.

Pendek kata, buku yang awalnya makalah-makalah Konferensi Indonesia Update tahun 2007 ini berupaya menunjukkan potret Islam Indonesia secara utuh dari berbagai aspek. Kabar baiknya, di saat peluncuran edisi Indonesianya --edisi Inggrisnya berjudul Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia-- salah seorang editornya, Greg Fealy, membawa kabar gembira. Menurut Indonesianis asal Australia itu, sekalipun banyak kelompok Islam galak dan garang yang bermunculan di Indonesia, Islam yang lembut masih tetap yang paling laku. "Soft Islam sales," tandas Fealy.

Jika tesis Fealy benar, tentu itu kabar yang sangat menggembirakan di tengah kegalauan dan kekhawatiran akan corak Islam Indonesia yang semakin ke Timur Tengah. Apakah penolakan terhadap ormas Islam yang rajin melakukan kekerasan akhir-akhir ini membuktikan tesis itu? Jawabnya, wallahualam. Yang pasti, sepanjang syiar-syiar kebencian atas nama agama masih marak di pasaran, kita pantas menerima tesis Fealy dengan setengah yakin.

Novriantoni Kahar
Dosen Universitas Paramadina, pengamat sosial-keagamaan