Aku Bukan Budak
Penulis: Astina Triutami
Penerbit: Penerbit Libri, Jakarta, September 2011, xiv + 404 halaman
"Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain." Demikian Pramoedya Ananta Toer dengan getir menyindir eksistensi Indonesia di mata bangsa sendiri dan mata warga dunia internasional. Sindiran ini menjadi ujung tombak novel berjudul Aku Bukan Budak yang ditulis Astina Triutami, seorang mantan tenaga kerja wanita (TKW) di Hong Kong yang merasakan sendiri kegetiran itu.
Penerbit: Penerbit Libri, Jakarta, September 2011, xiv + 404 halaman
"Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain." Demikian Pramoedya Ananta Toer dengan getir menyindir eksistensi Indonesia di mata bangsa sendiri dan mata warga dunia internasional. Sindiran ini menjadi ujung tombak novel berjudul Aku Bukan Budak yang ditulis Astina Triutami, seorang mantan tenaga kerja wanita (TKW) di Hong Kong yang merasakan sendiri kegetiran itu.
Tentu tidak ada manusia yang mau diperlakukan sebagai budak. Perbudakan merampas hak asasi manusia dalam menegakkan harga dirinya. Dalam novel yang berisi kisah nyata ini, kita dapat menyimak betapa seorang TKW juga mampu membeberkan kompleksitas masalah yang membelitnya dalam bentuk cerita. Sekaligus ia menggugat dan menggigit.
Dalam salah satu gugatannya, Astina menulis, antara lain, "Apakah kiranya yang tidak dijual bangsa ini? Alam, kehormatan, harga diri, dan segalanya. Kini yang tersisa hanya tinggal sumber daya manusianya, yang hendak dijual habis pula. Apakah nama yang tepat apabila TKI yang digaji underpaid atau bahkan tidak digaji selama berbulan-bulan itu kalau bukan budak?"
Ceritanya dibuka dengan kisah sang penulis sewaktu berada kembali di Jakarta dan memutuskan untuk berhenti menjadi TKW. Pangkalnya, ia menghadapi kenyataan pahit: kelaparan di tempat kosnya di daerah selatan Jakarta. Bagaimana Jakarta masih bangga menjadi ibu kota kalau tidak mampu "mengasuh" anak-anak bangsa?
Kemudian kita diajak mengikuti pengalaman mulai dari masa-masa sekolahnya, masalah ekonomi yang dihadapi orangtuanya, sampai kemudian ia terpaksa memutuskan menjadi TKW. Astina menuturkan seluk-beluk perjalanannya menjadi seorang TKW dan blak-blakan menceritakan sisi hitam kehidupan para "pahlawan" devisa itu.
Astina mengaku terpaksa menjadi TKW karena kemiskinan yang mendera keluarganya akibat utang-utang untuk menyelamatkan ayahnya yang sakit, kemudian meninggal. Pendidikan adik-adiknya pun ikut telantar akibat beban ekonomi yang amat berat. Jalan keluar terdekat yang ditempuhnya adalah menjadi TKW. Ia tertarik pada iming-iming penghasilan yang besar dan konon setara dengan gaji pegawai menengah di negeri ini.
Ternyata garis tangannya berkata lain. Ia justru terlempar ke dunia asing yang kejam. Bukan saja kepahitan yang ditemuinya setelah bekerja di luar negeri. Jauh sebelum itu, ketika masih di balai latihan kerja, ia merasa diperlakukan tidak sebagaimana hakikat manusia, tapi hanya bagaikan "barang".
Proses menjadi TKW digambarkan begitu gamblang. Ia membeberkan bagaimana manusia diproses sebagai komoditas tenaga kerja dengan status pembantu rumah tangga. Sebagai komoditas, TKW seperti bukan manusia lagi, bahkan menjadi mesin dari tubuhnya sendiri.
Meski bercerita dari sudut pandang si aku alias sang penulis sendiri, novel ini tidak melulu bercerita ego aku-aku saja, melainkan juga peduli pada nasib orang lain sebagai sesama TKW yang senasib sepenanggungan. Astina juga mengungkapkan nasib Lastri, seorang temannya yang terlunta-lunta bekerja di negeri orang dan sering mengalami pelecehan.
Kenyataan itu menunjukkan ketidakmampuan negara memberi kesejahteraan bagi warganya, sehingga banyak yang nekat menjadi TKW di luar negeri. Ini diperparah dengan ketidakmampuan negara melindungi warganya di negeri asing. Rakyat sepertinya hanya menjadi pelengkap adanya pemerintahan. Bagi rakyat, dalam kasus TKW, pemerintah menjadi seperti tidak ada lantaran memang tidak punya kepedulian dan perlindungan terhadap TKW.
Membaca buku ini, kita dapat menyimak sikap kritis penulis yang bisa menjadi masukan berharga untuk memecahkan masalah TKW. Sebuah novel yang wajib pula dibaca oleh orang yang pernah menjadi TKW dan berkeinginan mengubah nasib. Juga sebagai peringatan bagi masyarakat umum agar tidak tergiur begitu saja pada iming-iming penghasilan besar sebagai TKW. Bagaimanapun, lebih baik bekerja di negeri sendiri.
Akhmad Sekhu
Pengamat buku, tinggal di Jakarta dan Tegal