Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

STRATEGIC VISION: AMERICA AND THE CRISIS OF GLOBAL POWER

STRATEGIC VISION: AMERICA AND THE CRISIS OF GLOBAL POWER
Penulis: Zbigniew Brzezinski
Penerbit: Basic Books, New York, 2012, 224 halaman

Setelah menulis Second Chance yang bestseller itu, Zbigniew Brzezinski keluar lagi dengan buku baru tentang strategi yang perlu ditempuh negaranya, Amerika Serikat. Buku yang terbit pada 2012 ini akan mendapat perhatian banyak pihak, sebagaimana buku-buku yang ia tulis sebelumnya. Pakar yang pernah menjadi penasihat keamanan nasional Presiden Jimmy Carter dan kini menjadi profesor di John Hopkins University ini memang terkenal dengan tulisannya tentang strategi dan politik internasional.

Buku Strategic Vision yang ditulis dalam periode ketika Amerika mengalami berbagai kesulitan dan pukulan ini tampaknya bermaksud memberikan semangat dan dorongan kepada bangsanya agar tidak menyerah. Memang, belakangan ini, banyak pendapat dan keluhan yang menyatakan bahwa Amerika mengalami kondisi menurun dan tidak akan naik kembali. Di antara keluhan itu, yang paling memukul adalah 47 Signs That China is Absolutely Destroying America karya Michael Snyder.

Tapi, Brzezinski menegaskan, dalam sejarahnya, Amerika membuktikan diri dapat bangkit setelah mengalami pukulan berat dan kembali menjadi pihak yang unggul. Ia mencontohkan, Amerika bangkit kembali setelah dipukul depresi pada 1930-an, juga dalam Perang Dunia II ketika mengalami pukulan dari Jepang di kawasan Pasifik. Lalu, dalam Perang Dingin, ketika awalnya terpukul karena Uni Soviet mampu membuat Sputnik, akhirnya Amerika muncul sebagai pemenang. Sekarang pun, tidak ada negara yang dapat menggantikannya sebagai kekuatan utama dunia, andaikan kekuatan Amerika benar-benar menurun.

Cina pun tidak, betapa pun tampaknya negara itu sedang membuat perkembangan yang amat spektakuler. Seperti dikatakan Michael Snyder bahwa sekarang Cina mampu memproduksi baja sebanyak 628 juta metrik ton dan menargetkan 1.000 juta ton, sedangkan Amerika hanya mampu memproduksi 80 juta metrik ton. Cina juga membuat Amerika mengalami defisit perdagangan hingga mencapai US$ 300 milyar pada 2011. Cina mengungguli Amerika dengan jelas sekali dalam pembangunan infrastruktur. Terutama dalam jaringan kereta api supercepat terluas dan tercepat di dunia.

Namun, Brzezinski mengatakan, dengan kemajuannya yang spektakuler itu, Cina tetap memerlukan Amerika yang kuat. Selain itu, negara-negara selain Cina juga tetap berkepentingan terhadap peran Amerika sebagai kekuatan utama dunia. Negara-negara di Asia Tenggara yang khawatir akan ambisi Cina menguasai Laut Cina Selatan jelas sekali mengharapkan peran Amerika supaya membuat Cina lebih bersikap damai dan moderat.

Demikian pula Jepang dan Korea Selatan yang khawatir perkembangan nuklir Korea Utara serta posisi Cina dalam masalah itu. Dan banyak negara di wilayah Asia Tengah dan Eropa Timur yang dulu menjadi bagian Uni Soviet, seperti Georgia, Azerbaijan, Belarusia, dan Ukraina, yakin bahwa Rusia akan berusaha kembali menjadikan mereka bagian dari Rusia kalau tidak ada faktor Amerika.

Namun Brzezinski mengakui bahwa Amerika mengalami kemunduran yang sangat merugikan, bahkan dapat berakibat fatal. Dalam bukunya, ia menyebut enam kelemahan utama yang bersifat ancaman. Pertama, utang nasional yang besar dan terus bertambah. Anggaran tahun 2011 menjadikan utang nasional Amerika pada 2025 melampaui utang setelah Perang Dunia II sebesar 108,6% dari GDP-nya. Untuk melunasi utang itu, perlu peningkatan pajak secara signifikan, yang hanya dapat terwujud dengan kemauan nasional yang kuat, yang kini tampaknya tidak ada.

Kedua, sistem keuangan Amerika adalah satu kelemahan utama yang menimbulkan dua kerawanan. Pertama, merupakan bom waktu yang mengancam tidak hanya ekonomi Amerika, melainkan juga ekonomi dunia. Kedua, menimbulkan masalah moral yang dikecam masyarakat dalam negeri serta mengurangi citra Amerika di luar negeri. Perilaku bank-bank investasi dan perusahaan dagang (trading houses) yang ngawur dan serakah, ditambah dengan sikap kurang bertanggung jawab Kongres dan dorongan spekulator Wall Street, menjadi sebab krisis keuangan 2008 yang berakibat penderitaan jutaan orang.

Ketiga, makin lebarnya kesenjangan penghasilan, ditambah dengan mobilitas sosial yang stagnan, merupakan bahaya jangka panjang terhadap konsensus sosial dan stabilitas demokrasi. Dua faktor inilah yang penting untuk politik luar negeri yang efektif. Kesenjangan yang meningkat itu menjadikan Amerika sebagai negara maju dengan jurang kaya-miskin terlebar di dunia. Gini coefficient Amerika pada 2011 mencapai 45,0 dan hanya Brasil yang lebih parah dengan 56,7.

Keempat, kondisi infrastruktur nasional yang terus mundur. Padahal, infrastruktur sangat penting untuk pertumbuhan ekonomi, sekaligus simbol dinamika nasional. Infrastruktur Amerika sekarang lebih mirip kondisi negara yang menuju kegagalan daripada negara yang termaju ekonominya.

Kelima, masyarakat Amerika amat kurang paham tentang kondisi dunia. Pengetahuan tentang geografi dan sejarah negara lain amat rendah. Termasuk mereka yang katanya terpelajar. Diperparah dengan kurang adanya informasi yang disajikan media tulis dan elektronik tentang perkembangan dunia.

Keenam, sistem politik dalam negeri yang terlalu partisan. Ini pun diperparah dengan cara kerja media yang justru memperkuat sikap partisan yang tidak fleksibel. Juga diperparah dengan ketergantungan tinggi kehidupan politik pada sumbangan keuangan, terutama dari pihak-pihak yang kuat keuangannya. Yang dimaksudkan Brzezinski tentu peran lobi Yahudi (Jewish lobby) yang tersohor itu.

Di samping enam kelemahan utama itu, Brzezinski mengatakan, Amerika memiliki kekuatan residual (residual strength) yang dapat memelihara posisinya sebagai kekuatan dunia. Kekuatan itu adalah kekuatan ekonomi nasional yang mendominasi ekonomi dunia dengan GDP terbesar, potensi untuk melakukan inovasi, dinamika demografi ketika Amerika masih menjadi idam-idaman banyak orang di seluruh dunia untuk menjadi warganya, kemampuan mobilisasi bangsa untuk bereaksi terhadap kemunduran dan ancaman, basis geografi yang unggul dan unik dengan dua samudra sebagai pelindung alamiah, dan masih kuatnya daya tarik demokrasi Amerika terhadap banyak orang di dunia.

Brzezinski yakin, dengan memanfaatkan kekuatan residual itu, Amerika akan tetap menjadi negara yang amat penting di dunia, sekalipun tidak lagi memegang monopoli kekuatan ekonomi dan politik. Tapi, rasanya, Brzezinski berpikir terlalu jauh ketika menyatakan sasaran-sasaran strategis yang perlu diwujudkan Amerika dalam abad ke-21 untuk menunjukkan posisinya yang masih amat menonjol. Ia mengatakan bahwa Amerika harus menjadi promotor dan penjamin (guarantor) dunia Barat yang kuat kembali (revitalized west), dan di pihak lain kekuatan pengimbang dan perujuk (conciliator) dunia Timur yang sedang bangkit (a rising new east).

Brzezinski mengatakan, Amerika harus mengajak bangsa-bangsa Barat memperluas dirinya. Barat yang sekarang umumnya dihubungkan dengan bangsa-bangsa Eropa Barat, plus Benua Amerika, dengan asumsi bangsa Amerika Latin mau dimasukkan dalam kategori Barat, hendak diperluas. Pertama, penulis menganggap bahwa bangsa-bangsa Eropa Timur, termasuk Rusia, mau menjadi bagian Barat. Ia juga memasukkan Turki sebagai bagian Barat. Malah mungkin Jepang pun masuk Barat. Dengan begitu, Barat melebar mulai dari Amerika ke Eropa, Asia Utara, dan Jepang.

Penulis rupanya hendak menjadikan pikiran Halford John Mackinder satu kenyataan. Pakar geopolitik Inggris kelahiran 1861 itu mengatakan, kawasan Eurasia adalah jantung dunia (heartland). Dan, barang siapa menguasai jantung dunia, ia akan menguasai pulau dunia (world island), yaitu kawasan yang meliputi Eurasia dan Afrika. Lalu yang menguasai pulau dunia juga akan menguasai dunia. Gagasan itu menjadi ambisi orang-orang seperti Hitler dan Stalin, tetapi mereka tidak berhasil mewujudkannya. Sekarang rupanya Brzezinski mendorong Amerika untuk juga berusaha mewujudkan pikiran Mackinder.

Namun, agaknya, Brzezinski terlalu berani membuat asumsi. Yang lemah dalam asumsinya adalah menjadikan Rusia bagian dari Barat. Penulis mengakui bahwa para pemimpin Rusia dewasa ini, seperti Putin, punya ambisi sendiri untuk menjadikan negaranya bukan bagian dari Barat. Tapi Brzezinski melihat kelas menengah yang baru tumbuh di Rusia suka berpikir seperti Barat dan melihat dirinya Barat. Hal ini amat mengecilkan faktor nasionalisme orang Rusia yang terkenal kuat. Rusia mungkin sekali bersedia mengadakan persekutuan dengan Jerman, tetapi tidak untuk menjadikan dirinya bagian dari Uni Eropa.

Keinginan membentuk Barat yang menguasai pulau dunia dengan Amerika sebagai promotor dan penjaminnya tampaknya terlalu berlebihan. Kehendak menjadi pengimbang dan perujuk dunia Timur pun masih bergantung pada perkembangan Cina selanjutnya serta seberapa mampu Amerika bangkit mengurangi kelemahan dan kerawanannya.

Kalau yang ditulis Michael Snyder banyak yang benar dan menjadi benar, sulit juga bagi Amerika untuk menjadi pengimbang dan perujuk antara Cina dan dunia Timur lainnya. Snyder antara lain menulis, menurut IMF, Cina pada 2016 menjadi kekuatan ekonomi nomor satu dunia, jauh lebih cepat dari prediksi sebelumnya. Tidak mustahil pula Cina mengambil sikap damai dalam melaksanakan tujuan politik internasionalnya yang dapat menumbuhkan kepercayaan pada bangsa-bangsa di sekelilingnya. Satu sikap yang tidak aneh bagi bangsa dan pemimpin Cina yang menganut dasar-dasar strategi Sun Tzu. Sikap demikian, dan kondisi yang diciptakan, tak memerlukan kekuatan pengimbang dan perujuk dari luar.

Dapat dipahami bahwa Brzezinski sebagai orang Barat lebih mengutamakan dasar-dasar strategi Carl von Clausewitz daripada Sun Tzu. Itu sebabnya, ia lebih cenderung melihat adanya konflik antara Cina dan negara sekelilingnya. Tapi, lepas dari semua kekurangannya, buku ini masih penting dimiliki dan dibaca. Pandangan Brzezinski tentang berbagai aspek perkembangan negara dan bangsa sangat bermutu serta amat bermanfaat bagi keperluan kita dalam membangun negara.

Sayidiman Suryohadiprojo
Mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional dan mantan Duta Besar RI untuk Jepang