Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

MEMBUMIKAN TAUHID: KONSEP DAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

MEMBUMIKAN TAUHID: KONSEP DAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Penulis: Muhammad Zaini
Penerbit: Pustaka Ilmu, Yogyakarta, 2011, xii+157 halaman
Keragaman umat manusia merupakan sunnatullah yang semestinya mendorong terciptanya relasi antarmanusia yang penuh pengertian dan pemahaman satu sama lain. Ironisnya, perbedaan ras, etnis, dan budaya justru sering menyulut konflik yang berakibat jatuhnya korban nyawa manusia. Bahkan konflik itu kerap berujung dendam berkepanjangan yang diwariskan secara turun-temurun.

Dalam kondisi seperti ini, agama yang misinya memperbaiki kehidupan umat manusia tidak jarang dianggap ikut memicu terjadinya konflik. Pasalnya, dalam realitas kehidupan, tampaknya sulit dibedakan secara tegas antara unsur-unsur budaya di satu sisi dan nilai-nilai agama di sisi lain. Keduanya menjadi tumpang tindih sehingga sulit menemukan jalan kompromi.

Bagi Indonesia, sebagai bangsa yang multibudaya dan agama, tentu diperlukan beragam alternatif solusi untuk mengelola keragaman itu agar tidak berpotensi konflik. Melihat berbagai konflik sosial dan kekerasan yang terjadi di masyarakat akibat perbedaan pemahaman agama dan keragaman budaya, sebagai upaya mencari pemecahan masalah seperti itu, pintu masuk yang paling strategis adalah melihat kembali konsep pendidikan Islam yang dipraktekkan selama ini. Dalam konteks ini, pendidikan Islam multikultural pun menemukan relevansinya.

Untuk mengukuhkan model pendidikan Islam multikultural itu, dalam pandangan penulis buku ini, diperlukan landasan teologis yang berakar pada tradisi Islam. Penegasan landasan teologis ini penting untuk menghindari jebakan stigma "profanisasi" ajaran Islam yang termanifestasi dalam institusi pendidikan.

Sebab, disadari atau tidak, multikulturalisme terkait langsung dengan gelombang globalisasi yang tak terbendung dan mengalir begitu deras melanda peradaban umat manusia. Di satu sisi, globalisasi membawa efek positif berupa hidup mudah, nyaman, indah, dan maju. Tetapi, di sisi lain, membawa dampak negatif yang sering menimbulkan keresahan, penderitaan, dan penyesatan.

Menurut Ismail Raji al-Faruqi, dalam ajaran Islam ada satu ajaran utama yang menjadi embrio lahirnya peradaban Islam, yaitu tauhid. Konsep ajaran tauhid inilah yang kemudian meniscayakan kemerdekaan dan kebebasan yang menjadi citra budaya dan peradaban masyarakat. Sehingga segala bentuk penjajahan (kolonialisme), imperialisme, penindasan, atau kesewenang-wenangan penguasa terhadap rakyat tidak dibenarkan dalam pandangan sistem budaya Islam.

Zaini menunjukkan kajiannya dalam buku ini bahwa bangunan pendidikan Islam multikultural tidak boleh lepas dari landasan teologis tauhid. Ini diperlukan agar tidak terbawa arus dinamika globalisasi yang cenderung bebas nilai. Lebih dari itu, konsep tauhid menjadi tawaran prinsip etika atau sistem nilai bagi tumbuh kembangnya peradaban dan kebudayaan yang terus bergerak maju seiring dengan perkembangan zaman. Sebagai sistem nilai, konsep tauhid dapat menjadi media filter terhadap penetrasi budaya lain dan dalam menerima proses adaptasi unsur peradaban serta kebudayaan luar.

Dalam tataran konsep dan implementasinya, tauhid semestinya selalu hadir sebagai prinsip etika dan peradaban. Dengan kata lain, tauhid menjadi elan vital sekaligus sumber inspirasi bagi upaya pengembangan pendidikan multikultural yang menjunjung tinggi nilai-nilai profetik-universal serta keseimbangan antara aspek humanitas dan transenden.

Pendidikan multikultual, dengan segala implikasinya, dapat sedikit mengubah wajah pendidikan bangsa Indonesia. Dengan menjadikan tauhid sebagai landasan teologis dan etis, pendidikan multikultural diharapkan dapat menumbuhkan upaya menghargai pluralisme, humanisme, dan demokrasi.

Walau demikian, pendekatan tauhid yang kemudian harus menyatu dengan aspek budaya dan peradaban tidak berarti menghendaki penyeragaman paham yang serba-tunggal. Tetapi bagaimana satuan elemen peradaban dan budaya itu dapat terjalin secara integral dan menjalin hubungan interkonektif dengan tauhid. Dengan demikian, semua elemen itu saling melengkapi untuk mewujudkan kehidupan bersama dan demi terbentuknya peradaban utama.

Abdul Aziz M.M.M., Pengelola Renaisance Institute, tinggal di Yogyakarta