Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hikayat Pohon Ganja: 12.000 Tahun Menyuburkan Peradaban Manusia

Penulis: Tim Lingkar Ganja Nusantara
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Desember 2011, 386 halaman

Chang, seorang arkeolog Cina, menemukan desa yang diperkirakan ada sejak 10 abad sebelum Masehi (SM). Di antara puing-puingnya, ditemukan tembikar yang didekorasi dengan tempelan tali tambang dari serat tanaman ganja. Pola dekorasi ini memberi gambaran tentang tingginya posisi serat ganja pada masyarakat desa purba itu.

Tanaman ganja diperkirakan adalah spesies yang relatif muda bila dibandingkan dengan jenis lainnya dalam dunia tanaman. Kemunculan tanaman ganja dalam perjalanan evolusi diperkirakan muncul 34 juta tahun lampau. Perkiraan ini merujuk pada organisme lain, yaitu parasit.

Perjalanan waktu telah menjadikan ganja sebagai tanaman dengan sebutan paling banyak. Dalam daftar nama ilmiah, pada 1753 Carolus Linnaeus menyebut ganja sebagai Cannabis sativa. Catatan tertulis pertama yang lengkap tentang tanaman ganja berasal dari lempengan tanah liat yang ditulis dalam huruf paku (cuneiform) oleh bangsa Sumeria pada 3000 SM. Pada saat itu, beberapa istilah dalam bahasa Sumeria, seperti a-zal-la (tanaman yang memintal), gur-gur-rum (tali tambang), atau gan-zi-gun-na (pencuri jiwa yang terpintal), merujuk pada tanaman ganja.

Akar kata Cannabis bahkan muncul dalam Perjanjian Lama pada Kitab Keluaran 30:23. Di situ, Tuhan memerintahkan Musa membuat minyak suci untuk menyucikan kotak tempat penyimpanan Batu Sepuluh Perintah Tuhan (Ark of Covenant) dengan myrrh, cinnamon, dan cassia "qaneh-bosm". Bangsa Scythian dan Thracians kemudian mengadaptasi kata qaneh-bosm menjadi kannabis.

Setelah itu, tanaman ganja ternyata menempati posisi penting dalam beberapa peradaban dunia selama ribuan tahun. Baik dimanfaatkan untuk membuat tali-temali, kain, kertas, pengobatan, hingga medium untuk ritual keagamaan.

Pemakaian tanaman ganja dalam dunia medis bersumber dari penemuan arkeologi di Bukit Kouyunjik di kota kuno Niniwe. Pada bukit ini terdapat perpustakaan Kerajaan Ashurbanipal, yang menyimpan 19.000 tablet tanah liat, dengan 660 keping di antaranya berisi ilmu pengobatan. Menurut Reginald Campbell Thompson, orientalis yang berhasil menerjemahkan manuskrip itu, bangsa Assyria memintal tanaman ganja menjadi tali-temali dan menggunakannya sebagai antidepresan sejak abad ke-9 SM.

Istilah ganja dalam bahasa Tibet adalah so-ma-radza yang bermakna raja para soma. Dalam kepercayaan Buddha Mahayana dikisahkan, dalam enam tahap pertapaan untuk mencapai pencerahan, Sang Buddha bertahan hidup hanya dengan satu biji ganja setiap hari. Memang masyarakat Buddha di Tibet menggunakan ganja dalam ritual meditasi sejak abad ke-5 SM.

Di Jepang, ganja tumbuh sejak periode Jomon (10.000-300 SM). Bukti-bukti arkeologis menyebutkan bahwa biji ganja adalah salah satu sumber makanan pada periode tersebut. Pada masa itu, orang Jepang menguasai seni menganyam pakaian dan keranjang dengan serat ganja.

Sedangkan bangsa Arab baru mengenal tanaman ganja sejak abad ke-8. Tepatnya pada tahun 751, ketika Kekhalifahan Abbasiyah berhasil mengalahkan Dinasti Tang pada Perang Talas. Ketika itu, tawanan dari Cina dibawa ke Samarkand dan dipaksa membuka rahasia bahan dan proses pembuatan kertas. Walhasil, pada tahun 794, pabrik kertas berbahan baku serat tanaman ganja didirikan di Baghdad.

Ganja juga menempati posisi penting pada masa Mesir kuno. Papirus Ebers (yang diberi nama sesuai dengan penemunya, George Ebers) dari masa 1550 SM menyebutkan bahwa shem-shem-et yang merujuk pada tanaman ganja merupakan sumber serat dan obat-obatan. Istilah shem-shem-et memiliki akar kata yang sama dengan saminissati, yang merupakan sebutan ganja dalam bahasa Assyria.

Buku yang ditulis Tim Lingkar Ganja Nusantara ini cukup menarik. Hanya dalam waktu sebulan setelah terbitan pertama, November 2011, buku dengan kata sambutan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat ini pun mengalami cetak ulang. Sebagai hasil penelitian ilmiah, buku ini menjadi buku terlengkap di Indonesia yang menjelaskan seluk-beluk tanaman ganja.

Sayangnya, penelitian itu tidak dilengkapi dengan riset seputar efek negatif penyalahgunaan tanaman ini. Untuk sekadar mengingatkan, tanaman ini ibarat pisau bermata dua: bermanfaat sekaligus bisa membawa mudarat.

Ade Faizal Alami