HAK-HAK ASASI MANUSIA: POLEMIK DENGAN AGAMA DAN KEBUDAYAAN
HAK-HAK ASASI MANUSIA: POLEMIK DENGAN AGAMA DAN KEBUDAYAAN
Penulis: F. Budi Hardiman
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta, 2011, 160 halaman
Penulis: F. Budi Hardiman
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta, 2011, 160 halaman
Hak-hak asasi manusia (HAM) dewasa ini santer diperbincangkan. Pasalnya, kasus-kasus pelanggaran HAM ekstrem kembali menyeruak ke permukaan. Kasus Mesuji di Lampung dan Sape di Nusa Tenggara Barat menjadi bukti nyata. Bahkan, nahasnya, dua kasus itu diduga dilakukan aparat keamanan yang seharusnya bertugas mengayomi rakyat.
Bukan hanya aparat, wakil rakyat juga tidak kalah sering melakukan pelanggaran HAM. Tindak korupsi massal pun dapat disebut sebagai bentuk pelanggaran HAM. Sebab korupsi merampas hak rakyat dengan paksa untuk mengalihkannya menjadi hak personal.
Prinsip HAM, secara substansial, mengusung iktikad baik, yakni menghormati dan menjamin hak-hak setiap individu di muka bumi. Maka, muncullah kemudian Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948, yang berimbas pengakuan hak-hak asasi manusia sebagai bagian hakiki konstitusi di hampir semua negara.
Ironisnya, jaminan HAM seolah hanya tinggal narasi hukum eksklusif non-aplikatif. Realitas sosial membuktikan, berapa banyak HAM yang dikebiri. Penyiksaan, korupsi, hukuman mati, perdagangan manusia, pekerja di bawah usia, diskriminasi gender dan ras, perlakuan tidak manusiawi terhadap pengungsi, pembersihan etnis, intoleransi atas minoritas agama, dan berbagai bentuk kekejaman lainnya hampir tiap hari mewarnai pemberitaan di media cetak dan elektronik.
Muncul tanda tanya besar, ada apa dengan HAM di Indonesia? Mengapa persoalan HAM terkesan absurd?
Merasa terpanggil atas persoalan ini, Budi Hardiman pun melakukan penelitian seputar HAM di Indonesia, lalu menuangkannya dalam buku berjudul Hak-hak Asasi Manusia: Polemik dengan Agama dan Kebudayaan.
Budi melihat, penyimpangan HAM di Indonesia erat kaitannya dengan persoalan agama dan kebudayaan. Dari hasil penelitiannya, ia menemukan empat polemik krusial akar muara kurang berhasilnya, jika tidak boleh dikatakan gagal, penegakan HAM di Indonesia. Budi Hardiman meyakini, bukan hanya empat polemik itu penyebab utama inkonsistensi penegakan HAM, tapi masih banyak polemik lainnya. Kemunculan empat polemik itu murni disebabkan paradigma yang digunakannya dalam penelitian, yakni paradigma sosial-keagamaan.
Pertama, polemik antara kubu liberalisme dan republikanisme. Yang menjadi persoalan di sini adalah hubungan antara HAM dan demokrasi. Menurut pandangan liberalisme, hak-hak individu bersifat primordial di atas kepentingan komunal. Sedangkan tafsir republikanisme menganggap bahwa hak-hak sebuah komunitas lebih mendasar daripada hak-hak individu.
Kedua, polemik historisitas HAM. Banyak kalangan menilai bahwa embrio HAM adalah murni tradisi Barat yang pasti berbeda sosio-politis dari Indonesia. Sehingga muncul keyakinan bahwa HAM kurang relevan ketika diaplikasikan di Indonesia. Berbeda ketika HAM muncul dari tradisi pribumi atau religius, tentu hal ini akan mudah diterima.
Ketiga, polemik dengan subjek HAM: apakah hanya individu yang dapat menjadi subjek hak-hak itu atau juga kelompok. Tokoh-tokoh aliran liberal klasik, seperti Thomas Hobbes dan John Locke, hanya memusatkan perhatian pada individu sebagai subjek hak-hak itu. Namun, seiring dengan dinamika masyarakat modern yang makin kompleks, muncul aliran kritis yang digawangi Will Kymlicka, yang juga melihat kelompok sebagai subjek HAM.
Keempat, polemik sosialisasi HAM terhadap kebudayaan non-Barat, khususnya di Asia. Kebudayaan-kebudayaan di Asia cenderung memahami HAM dalam konteks komunitas historis yang kongkret. Sehingga HAM masih dilihat sebagai nilai-nilai liberal Barat yang sulit "dipribumikan" ke dalam konteks kebudayaan-kebudayaan lain karena dianggap sebagai kelanjutan hegemoni kolonisasi Barat. Atau, dengan istilah lain, HAM adalah bentuk manifestasi supremasi dan dominasi Barat atas masyarakat dunia lain.
Dosen Universitas Pelita Harapan, Jakarta, itu mengajak kita untuk membuka mata dan hati bahwa prinsip utama HAM adalah universalitas, bukan persoalan agama atau kebudayaan. Dari mana pun embrio HAM, asalkan tidak keluar dari koridor perlindungan, prinsip HAM patut ditiru dan diaplikasikan. Tidak semua yang datang dari Barat bernilai negatif dan bahkan tidak jarang kita harus meneladani Barat dalam hal kemajuan bangsa.
Abdullah Hanif, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta